Sejarah dan Perkembangan Ushul Fiqh
Sejarah dan Perkembangan Ushul Fiqh
Dalam diskursus hukum Islam, ushul fiqh merupakan konsep
logis yang menjadi rumusan hukum. Ushul fiqh
dan fiqh adalah dua hal
yang tidak bisa dipisahkan.
Ushul fiqh bersamaan munculnya fiqh, meskipun
dalam penyusunannya, fiqh lebih awal dari ushul fiqh. Ushul fiqh terus berkembang dan mengalami perdebatan-perdebatan
intelektual seiring dengan perkembangan zaman dan konteks masyarakat.
Dalam sejarah yurisprudensinya, ushul fiqh memiliki
perjalanan panjang, hingga mengalami kodifikasi dan
tersusun dengan sistematis, mulai dari masa Rasulullah SAW hingga masa sekarang, yang mayoritas
lembaga pendidikan Islam menjadikannya sebagai salah satu kurikulum
pembelajaran.
Di sini, penulis akan menjelaskan sedikit
tentang sejarah dan perkembangan ushul
fiqh dari masa ke
masa, mulai dari masa Rasulullah SAW hingga masa sekarang.
Masa Rasulullah SAW.
Saat Rasulullah SAW masih hidup, umat Islam
tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum syara’, semua
permasalahan dapat langsung ditanyakan kepada beliau atau merujuk kepada
penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an dan juga melalui hadis. Para sahabat menyaksikan
dan berinteraksi langsung dengan turunnya wahyu.
Karena ini, ushul fiqh yang dipandang
sebagai sebuah metode dalam memecahkan persoalan hukum, tentu telah ditemukan
dan terjadi masa Rasulullah SAW. Rasulullah dan para sahabat, berijtihad dalam
persoalan yang belum dijelaskan hukumnya melalui wahyu.
Seperti kisah dua orang sahabat yang sedang
bepergian dan tidak menemukan air pada saat masuk waktu shalat. Keduanya
bertayamum dan kemudian melaksanakan shalat.
Setelah itu, mereka menemukan air pada waktu
shalat belum habis. Salah satu mengulangi shalatnya dan yang lain tidak. Lalu
keduanya mendatangi Rasulullah dan menceritakan hal tersebut.
Kepada sahabat yang tidak mengulangi
shalatnya, Rasulullah menjawab: “Engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu
sah.” Kepada sahabat yang berwudhu dan mengulangi shalatnya, Rasulullah
menjawab: “Engkau mendapatkan dua pahala.”
Kisah ini merupakan salah satu bukti bahwa
ushul fiqh sebagai sebuah metode dalam memecahkan persoalan hukum, telah
terjadi pada masa Rasulullah. Hanya saja, pada saat itu, belum dibuat konsep
yang baku, melainkan hanya sebagai buah dari pemecahan masalah praktis.
Masa Sahabat
Masa sahabat adalah masa transisi dari masa
hidup dan bimbingan Rasulullah, kepada masa tidak lagi didampingi oleh beliau.
Ketika Rasulullah masih hidup, sahabat menggunakan tiga sumber hukum, yaitu
Al-Qur’an, sunnah dan ra’y (nalar). Sebagaimana dalam sebuah hadis
disebutkan:
Dari Mu’az, bahwasanya Rasulullah SAW ketika
mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau bersabda: “Bagaimana engkau memutuskan jika
dihadapkan sebuah persoalan kepadamu?” Mu’adz menjawab: “Saya putuskan dengan
Al-Qur’an.” Rasulullah bertanya kembali: “Jika tidak kau temukan dalam
Al-Qur’an?” Mu’adz menjawab: “Saya putuskan dengan sunnah.” Rasulullah bertanya
kembali: “Jika tidak kau temukan dalam sunnah?” Mu’adz menjawab: “Saya
berijtihad dengan ra’yu (nalar) dan tidak melampaui batas.” Mu’adz lalu
mengatakan: Rasulullah memukul tangannya ke dada saya dan bersabda: “Segala
puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk utusan Rasulullah terhadap apa
yang diridhai Rasulullah.”
Metode ini, masih dilakukan setelah Rasulullah
wafat. Berbagai persoalan baru yang datang, menuntut para sahabat untuk
memecahkannya dengan tiga sumber di atas.
Pada masa ini, belum juga terealisasi
pembukuan kaidah ushul fiqh. para sahabat tidak membutuhkan perangkat
teori (kaidah) untuk berijtihad, karena semua itu telah mereka kuasai dan dapat
digunakan kapan saja mereka memerlukannya, termasuk tentang sebab turunnya ayat
dan juga latar belakang datangnya hadis.
Masa Tabi’in
Tabi’in adalah generasi setelah sahabat.
Mereka bertemu dan belajar dengan sahabat. Pada masa tabi’in ini, perbincangan
mengenai persoalan ushul fiqh tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, mereka
menempuh jalan yang dilalui oleh para sahabat dalam istinbath dan mereka masih
belum butuh terhadap pembukuan ushul fiqh, karena mereka masih sangat
dekat dengan masa Rasulullah dan juga mereka adalah murid-murid para sahabat.
Ketika Islam menyebar ke berbagai daerah, para
sahabat juga ikut menyebar, seperti Ibnu Mas’ud di Iraq, Umayyah di Syam, Ibnu
Abbas di Mekkah, Umar bin Khattab, Aisyah, dan Ibnu Umar, dan Abu Hurairah di
Madinah, dan Abdullah bin Amr bin Ash di Mesir.
Mereka berperan dalam menyebarkan Islam dan
menjadi tempat masyarakat meminta fatwa dan juga mengajarkannya, sehingga
mereka memiliki murid di daerah tersebut. Murid-murid tersebut kemudian menjadi
tokoh di daerahnya masing-masing.
Murid-murid ini, tidak hanya dari kalangan
orang Arab, melainkan juga dari kalangan muslim non-Arab. Bahkan, mayoritas
pemberi fatwa yang terkenal di kalangan tabi‘in adalah non-Arab, seperti
Ikrimah, Atha` bin Rabbah, Thawus, Ibrahim al-Nakha`i, Hasan al-Bashri, Ibn
Sirin, Yahya bin Katsir dan lainnya.
Masa Imam Mazhab Sebelum Imam Syafi’i
Metode ijtihad setelah masa tabi’in, sedikit lebih
jelas, yaitu periode para imam mujtahid sebelum Imam Syafi’i (w. 204 H),
pendiri mazhab Syafi’i. Metode istinbath dari masing-masing imam mujtahid,
dapat dilihat dari ungkapan dan praktik yang mereka lakukan.
Seperti Abu Hanifah (w. 150 H), pendiri mazhab
Hanafi, seperti yang dikemukakan Muhammad Abu zahrah, bahwa dasar-dasar istinbathnya
yaitu berpegang kepada Al-Qur’an, jika tidak ditemukan di dalamnya, ia
berpegang kepada Sunnah Rasulullah. Jika
tidak ditemukan, ia berpegang kepada pendapat yang disepakati para sahabat. Jika
mereka berbeda pendapat, ia akan memilih salah satunya dan
ia tidak akan mengeluarkan fatwa yang menyalahi
pendapat sahabat. Dia tidak berpegang kepada tabi’in,
karena ia juga sejajar dengan tabi’in. Dalam melakukan ijtihad, Abu Hanifah
terkenal banyak melakukan qiyas dan istihsan.
Demikian pula Imam Malik bin Anas (w. 178 H0,
pendiri mazhab Maliki, dalam berijtihad mempunyai metode yang cukup jelas,
seperti tergambar dalam sikapnya dalam mempertahankann praktik penduduk Madinah
sebagai sumber hukum. Dan
pada masa Imam Malik, Ushul fiqh belum dibukukan secara lebih lengkap dan sistematis.
Pembukuan Ushul Fiqh
Ketika perkembangan Islam semakin meluas,
sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum
diketahui kedudukannya, akulturasi antara non-Arab dengan Arab terjadi,
menjadikan pengetahuan bahasa Arab bergeser dari posisi sedia kala.
Akibatnya, terdapat banyak ijtihad mujtahid
dan bermacam-macam pula metode dan juga penerapannya. Sehingga hal tersebut
berujung kepada semakin meluasnya perdebatan dan semakin banyak menimbulkan
syubhat (keraguan). Untuk itu, para fuqaha` membutuhkan
kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam
menggali dan menetapkan hukum.
Menurut satu pendapat, ulama yang pertama kali
membukukan ushul fiqh adalah Abu Yusuf. Namun karyanya tidak sampai ke
tangan kita. Menurut pendapat yang lain, ulama yang pertama kali membukukan ushul
fiqh adalah Ja’far al-Shadiq. Namun karyanya juga tidak sampai ke tangan
kita.
Pendapat yang disepakati oleh para ulama
tentang ulama yang berperan dalam merumuskan, mensistematisasi dan membukukan ushul fiqh adalah Imam
Muhammad Idris al-Syafi’i, melalui karyanya yang berjudul “Al-Risalah”
yakni pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga. Upaya pembukuan Ushul Fiqh ini, seiring
dengan keemasan ilmu pengetahuan Islam di masa itu.
Ushul Fiqh Pasca Imam
Syafi’i
Setelah Imam Syafi‘i, pembicaraan tentang ushul fiqh
semakin menarik dan semakin berkembang.
Para fuqaha` pengikut imam mujtahid setelahnya, mengikuti dasar-dasar yang sudah disusun Imam
Syafi‘i. Dalam pengembangannya, terlihat adanya perbedaan arah yang
menyebabkan perbedaan dalam ushul fiqh.
Mayoritas pengikut Imam Syafi‘i, ikut mengembangkan
ushul fiqh Imam Syafi‘i dengan berbagai cara, antara
lain: mensyarahkan, membuat rincian, membuat cabang dari pokok pemikiran Imam Syafi‘i, sehingga ushul
fiqh dalam mazhab Syafi‘i menemukan bentuknya yang sempurna.
Sebagian ulama lainnya, mengambil sebagian dari pokok pemikiran
Imam Syafi‘i dan
menambahkan beberapa hal lain
yang sudah menjadi dasar bagi pikiran imam mereka.
Kelompok ulama Hanafiyah mengambil sebagian yang dasar yang
diletakkan Imam Syafi‘i, kemudian mereka menambahkan istihsan dan ‘urf yang
diambil dari imam mereka.
Kelompok ulama Malikiyah, di samping
mengikuti beberapa dasar yang diletakkan Imam Syafi‘i, mereka tidak mengikuti
pendapat Syafi‘i yang menolak ijmâ’ ahli Madinah dan memasukkan tambahan berupa
maslahah mursalah, serta prinsip penetapan hukum
berdasarkan sadd al-Dzara`i’.
Di samping itu, muncul dua mazhab dalam
penulisan ushul fiqh, yaitu mazhab teolog (ahlu al-Kalam) dan
mazhab Hanafi. Karakter mazhab teolog adalah pembuktian terhadap kaidah-kaidah
dan pembahasannya secara logis dan rasional dengan didukung oleh beberapa
dalil. Mayoritas mazhab yang menggunakan metode ini adalah ulama mazhab Syafi’i
dan mazhab Maliki.
Sedangkan karakter mazhab Hanafi adalah
membuat kaidah dan pembahasan ushul fiqh yang mereka lihat bahwa kaidah
dan pembahasan tersebut telah digunakan oleh Imam mereka terdahulu dalam
berijtihad.
Para pendahulu mereka tidak meninggalkan
kaidah, namun yang ditinggalkan hanya lah persoalan furu’. Selain dua mazhab
tersebut, juga ada para ulama yang mengkombinasikan keduanya. Yakni,
membuktikan kaidah ushul fiqh sekaligus membenarkannya dengan dalil dan
juga menerapkannya pada persoalan furu’.
Kesimpulan
Dari uraian ini, dapat kita simpulkan bahwa perkembangan ushul fiqh di mulai sejak masa
Rasulullah SAW yang mana sumber hukum saat itu hanya dua, yaitu Al-Qur’an
dan sunnah.
Apabila terjadi suatu pesoalan, Nabi Muhammad SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukumnya.
Apabila wahyu tidak turun, maka Rasulullah SAW menetapkan hukum pesoalan tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadis atau
sunnah, sehingga pada
masa ini, tidak dibutuhkan pembicaraan terhadap konsep khusus tentang ushul fiqh.
Ijtihad juga telah terjadi pada masa
Rasulullah, yakni ketika sahabat bepergian dan dihadapkan dengan persoalan yang
belum ditetapkan hukumnya.
Maka, ketika Rasulullah masih hidup, para
sahabat menggunakan tiga sumber hukum, yaitu Al-Qur’an, sunnah dan ra’y
(nalar). Metode ini masih berlangsung, hingga setelah Rasulullah SAW wafat. Pada
masa ini, juga tidak membutuhkan pembicaraan terhadap konsep khusus tentang ushul
fiqh.
Perkembangan ushul fiqh pada masa
tabi’in, tabi’it-tabi’in, tidak jauh berbeda dengan masa sahabat. Mereka menempuh
jalan yang dilalui oleh para sahabat dalam istinbath dan mereka masih belum
butuh terhadap pembukuan ushul fiqh, karena mereka masih sangat dekat
dengan masa Rasulullah dan juga mereka adalah murid-murid para sahabat.
Metode ijtihad setelah masa tabi’in, sedikit
lebih jelas, yaitu periode para imam mujtahid sebelum Imam Syafi’i. Metode
istinbath dari masing-masing imam mujtahid, dapat dilihat dari ungkapan dan
praktik yang mereka lakukan.
Ketika perkembangan Islam semakin meluas,
sehingga menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui
kedudukannya, akulturasi antara non-Arab dengan Arab terjadi, menjadikan
pengetahuan bahasa Arab bergeser dari posisi sedia kala. Akibatnya, terdapat
banyak ijtihad mujtahid dan bermacam-macam pula metode dan juga penerapannya.
Sehingga hal tersebut berujung kepada semakin meluasnya perdebatan dan semakin
banyak menimbulkan syubhat (keraguan).
Untuk
itu, para fuqaha`
membutuhkan kaidah-kaidah hukum
yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan
hukum.
Pendapat yang disepakati oleh para ulama
tentang ulama yang berperan dalam merumuskan, mensistematisasi dan membukukan ushulfiqh adalah Imam Muhammad Idris al-Syafi’i, melalui karyanya yang berjudul
“Al-Risalah” yakni pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga.
Setelah masa Imam Syafi‘i, pembicaraan tentang
ushul fiqh semakin menarik dan semakin
berkembang. Banyak para ulama yang menuliskannya dalam sebuah karya.
Mereka merapikan pembahasannya, memperluas dan menambah bahasanya.
Wallahu A’lam
bi al-Shawab...
Semoga bermanfaat...
- Tarikh Ushul Fiqh
- Periodisasi Perkembangan Ushul Fiqh
- NU Online
Posting Komentar