Jadilah orang pertama yang menerima update artikel terbaru dari kami!!!

Sejarah dan Perkembangan Ushul Fiqh

Daftar Isi

Sejarah dan Perkembangan Ushul Fiqh

Dalam diskursus hukum Islam, ushul fiqh merupakan konsep logis yang menjadi rumusan hukum. Ushul  fiqh  dan  fiqh adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.

Ushul fiqh bersamaan munculnya fiqh, meskipun dalam penyusunannya, fiqh lebih awal dari ushul fiqh. Ushul fiqh terus berkembang dan mengalami perdebatan-perdebatan intelektual seiring dengan perkembangan zaman dan konteks masyarakat.

Dalam sejarah yurisprudensinya, ushul fiqh memiliki perjalanan panjang, hingga mengalami kodifikasi dan tersusun dengan sistematis, mulai dari masa Rasulullah SAW hingga masa sekarang, yang mayoritas lembaga pendidikan Islam menjadikannya sebagai salah satu kurikulum pembelajaran.

Di sini, penulis akan menjelaskan sedikit tentang sejarah dan perkembangan ushul fiqh dari masa ke masa, mulai dari masa Rasulullah SAW hingga masa sekarang.

Masa Rasulullah SAW.

Saat Rasulullah SAW masih hidup, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum syara’, semua permasalahan dapat langsung ditanyakan kepada beliau atau merujuk kepada penjelasan beliau mengenai Al-Qur’an dan juga melalui hadis. Para sahabat menyaksikan dan berinteraksi langsung dengan turunnya wahyu.

Karena ini, ushul fiqh yang dipandang sebagai sebuah metode dalam memecahkan persoalan hukum, tentu telah ditemukan dan terjadi masa Rasulullah SAW. Rasulullah dan para sahabat, berijtihad dalam persoalan yang belum dijelaskan hukumnya melalui wahyu.

Seperti kisah dua orang sahabat yang sedang bepergian dan tidak menemukan air pada saat masuk waktu shalat. Keduanya bertayamum dan kemudian melaksanakan shalat.

Setelah itu, mereka menemukan air pada waktu shalat belum habis. Salah satu mengulangi shalatnya dan yang lain tidak. Lalu keduanya mendatangi Rasulullah dan menceritakan hal tersebut.

Kepada sahabat yang tidak mengulangi shalatnya, Rasulullah menjawab: “Engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu sah.” Kepada sahabat yang berwudhu dan mengulangi shalatnya, Rasulullah menjawab: “Engkau mendapatkan dua pahala.”

Kisah ini merupakan salah satu bukti bahwa ushul fiqh sebagai sebuah metode dalam memecahkan persoalan hukum, telah terjadi pada masa Rasulullah. Hanya saja, pada saat itu, belum dibuat konsep yang baku, melainkan hanya sebagai buah dari pemecahan masalah praktis.

Masa Sahabat

Masa sahabat adalah masa transisi dari masa hidup dan bimbingan Rasulullah, kepada masa tidak lagi didampingi oleh beliau. Ketika Rasulullah masih hidup, sahabat menggunakan tiga sumber hukum, yaitu Al-Qur’an, sunnah dan ra’y (nalar). Sebagaimana dalam sebuah hadis disebutkan:

Dari Mu’az, bahwasanya Rasulullah SAW ketika mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau bersabda: “Bagaimana engkau memutuskan jika dihadapkan sebuah persoalan kepadamu?” Mu’adz menjawab: “Saya putuskan dengan Al-Qur’an.” Rasulullah bertanya kembali: “Jika tidak kau temukan dalam Al-Qur’an?” Mu’adz menjawab: “Saya putuskan dengan sunnah.” Rasulullah bertanya kembali: “Jika tidak kau temukan dalam sunnah?” Mu’adz menjawab: “Saya berijtihad dengan ra’yu (nalar) dan tidak melampaui batas.” Mu’adz lalu mengatakan: Rasulullah memukul tangannya ke dada saya dan bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk utusan Rasulullah terhadap apa yang diridhai Rasulullah.”

Metode ini, masih dilakukan setelah Rasulullah wafat. Berbagai persoalan baru yang datang, menuntut para sahabat untuk memecahkannya dengan tiga sumber di atas.

Pada masa ini, belum juga terealisasi pembukuan kaidah ushul fiqh. para sahabat tidak membutuhkan perangkat teori (kaidah) untuk berijtihad, karena semua itu telah mereka kuasai dan dapat digunakan kapan saja mereka memerlukannya, termasuk tentang sebab turunnya ayat dan juga latar belakang datangnya hadis.

Masa Tabi’in

Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dan belajar dengan sahabat. Pada masa tabi’in ini, perbincangan mengenai persoalan ushul fiqh tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, mereka menempuh jalan yang dilalui oleh para sahabat dalam istinbath dan mereka masih belum butuh terhadap pembukuan ushul fiqh, karena mereka masih sangat dekat dengan masa Rasulullah dan juga mereka adalah murid-murid para sahabat.

Ketika Islam menyebar ke berbagai daerah, para sahabat juga ikut menyebar, seperti Ibnu Mas’ud di Iraq, Umayyah di Syam, Ibnu Abbas di Mekkah, Umar bin Khattab, Aisyah, dan Ibnu Umar, dan Abu Hurairah di Madinah, dan Abdullah bin Amr bin Ash di Mesir.

Mereka berperan dalam menyebarkan Islam dan menjadi tempat masyarakat meminta fatwa dan juga mengajarkannya, sehingga mereka memiliki murid di daerah tersebut. Murid-murid tersebut kemudian menjadi tokoh di daerahnya masing-masing.

Murid-murid ini, tidak hanya dari kalangan orang Arab, melainkan juga dari kalangan muslim non-Arab. Bahkan, mayoritas pemberi fatwa yang terkenal di kalangan tabi‘in adalah non-Arab, seperti Ikrimah, Atha` bin Rabbah, Thawus, Ibrahim al-Nakha`i, Hasan al-Bashri, Ibn Sirin, Yahya bin Katsir dan lainnya.

Masa Imam Mazhab Sebelum Imam Syafi’i

Metode ijtihad setelah masa tabi’in, sedikit lebih jelas, yaitu periode para imam mujtahid sebelum Imam Syafi’i (w. 204 H), pendiri mazhab Syafi’i. Metode istinbath dari masing-masing imam mujtahid, dapat dilihat dari ungkapan dan praktik yang mereka lakukan.

Seperti Abu Hanifah (w. 150 H), pendiri mazhab Hanafi, seperti yang dikemukakan Muhammad Abu zahrah, bahwa dasar-dasar istinbathnya yaitu berpegang kepada Al-Qur’an, jika tidak ditemukan di dalamnya, ia berpegang kepada Sunnah Rasulullah. Jika tidak ditemukan, ia berpegang kepada pendapat yang disepakati para sahabat. Jika mereka berbeda pendapat, ia akan memilih salah satunya dan ia tidak akan mengeluarkan fatwa yang menyalahi pendapat sahabat. Dia tidak berpegang kepada tabi’in, karena ia juga sejajar dengan tabi’in. Dalam melakukan ijtihad, Abu Hanifah terkenal banyak melakukan qiyas dan istihsan.

Demikian pula Imam Malik bin Anas (w. 178 H0, pendiri mazhab Maliki, dalam berijtihad mempunyai metode yang cukup jelas, seperti tergambar dalam sikapnya dalam mempertahankann praktik penduduk Madinah sebagai sumber  hukum.  Dan pada masa Imam Malik, Ushul fiqh belum dibukukan secara lebih lengkap dan sistematis.

Pembukuan Ushul Fiqh

Ketika perkembangan Islam semakin meluas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukannya, akulturasi antara non-Arab dengan Arab terjadi, menjadikan pengetahuan bahasa Arab bergeser dari posisi sedia kala.

Akibatnya, terdapat banyak ijtihad mujtahid dan bermacam-macam pula metode dan juga penerapannya. Sehingga hal tersebut berujung kepada semakin meluasnya perdebatan dan semakin banyak menimbulkan syubhat (keraguan). Untuk  itu,  para  fuqaha`  membutuhkan  kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.

Menurut satu pendapat, ulama yang pertama kali membukukan ushul fiqh adalah Abu Yusuf. Namun karyanya tidak sampai ke tangan kita. Menurut pendapat yang lain, ulama yang pertama kali membukukan ushul fiqh adalah Ja’far al-Shadiq. Namun karyanya juga tidak sampai ke tangan kita.

Pendapat yang disepakati oleh para ulama tentang ulama yang berperan dalam merumuskan, mensistematisasi dan  membukukan ushul fiqh adalah Imam Muhammad Idris al-Syafi’i, melalui karyanya yang berjudul “Al-Risalah” yakni pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga. Upaya pembukuan Ushul Fiqh ini, seiring dengan keemasan ilmu pengetahuan Islam di masa itu.

Ushul Fiqh Pasca Imam Syafi’i

Setelah Imam Syafi‘i, pembicaraan tentang ushul fiqh semakin menarik dan semakin  berkembang. Para fuqaha` pengikut imam mujtahid setelahnya, mengikuti dasar-dasar yang sudah disusun Imam Syafi‘i. Dalam pengembangannya, terlihat adanya perbedaan arah yang menyebabkan perbedaan dalam ushul fiqh.

Mayoritas pengikut Imam Syafi‘i, ikut mengembangkan ushul fiqh Imam Syafi‘i dengan berbagai cara, antara lain: mensyarahkan, membuat rincian, membuat cabang dari pokok pemikiran Imam Syafi‘i, sehingga ushul fiqh dalam mazhab Syafi‘i menemukan bentuknya yang sempurna.

Sebagian ulama lainnya, mengambil sebagian dari pokok pemikiran Imam Syafi‘i dan menambahkan beberapa hal lain yang sudah menjadi dasar bagi pikiran imam mereka.

Kelompok ulama Hanafiyah mengambil sebagian yang dasar yang diletakkan Imam Syafi‘i, kemudian mereka menambahkan istihsan dan ‘urf yang diambil dari imam mereka.

Kelompok ulama Malikiyah, di samping mengikuti beberapa dasar yang diletakkan Imam Syafi‘i, mereka tidak mengikuti pendapat Syafi‘i yang menolak  ijmâ’  ahli Madinah dan memasukkan tambahan berupa maslahah mursalah, serta prinsip penetapan hukum berdasarkan sadd al-Dzara`i’.

Di samping itu, muncul dua mazhab dalam penulisan ushul fiqh, yaitu mazhab teolog (ahlu al-Kalam) dan mazhab Hanafi. Karakter mazhab teolog adalah pembuktian terhadap kaidah-kaidah dan pembahasannya secara logis dan rasional dengan didukung oleh beberapa dalil. Mayoritas mazhab yang menggunakan metode ini adalah ulama mazhab Syafi’i dan mazhab Maliki.

Sedangkan karakter mazhab Hanafi adalah membuat kaidah dan pembahasan ushul fiqh yang mereka lihat bahwa kaidah dan pembahasan tersebut telah digunakan oleh Imam mereka terdahulu dalam berijtihad.

Para pendahulu mereka tidak meninggalkan kaidah, namun yang ditinggalkan hanya lah persoalan furu’. Selain dua mazhab tersebut, juga ada para ulama yang mengkombinasikan keduanya. Yakni, membuktikan kaidah ushul fiqh sekaligus membenarkannya dengan dalil dan juga menerapkannya pada persoalan furu’.

Kesimpulan

Dari uraian ini, dapat kita simpulkan bahwa perkembangan ushul fiqh di mulai sejak masa Rasulullah SAW yang mana sumber hukum saat itu hanya dua, yaitu Al-Quran dan sunnah.

Apabila terjadi suatu pesoalan, Nabi Muhammad SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukumnya. Apabila wahyu tidak turun, maka Rasulullah SAW menetapkan hukum pesoalan tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadis atau sunnah, sehingga pada masa ini, tidak dibutuhkan pembicaraan terhadap konsep khusus tentang ushul fiqh.

Ijtihad juga telah terjadi pada masa Rasulullah, yakni ketika sahabat bepergian dan dihadapkan dengan persoalan yang belum ditetapkan hukumnya.

Maka, ketika Rasulullah masih hidup, para sahabat menggunakan tiga sumber hukum, yaitu Al-Qur’an, sunnah dan ra’y (nalar). Metode ini masih berlangsung, hingga setelah Rasulullah SAW wafat. Pada masa ini, juga tidak membutuhkan pembicaraan terhadap konsep khusus tentang ushul fiqh.

Perkembangan ushul fiqh pada masa tabi’in, tabi’it-tabi’in, tidak jauh berbeda dengan masa sahabat. Mereka menempuh jalan yang dilalui oleh para sahabat dalam istinbath dan mereka masih belum butuh terhadap pembukuan ushul fiqh, karena mereka masih sangat dekat dengan masa Rasulullah dan juga mereka adalah murid-murid para sahabat.

Metode ijtihad setelah masa tabi’in, sedikit lebih jelas, yaitu periode para imam mujtahid sebelum Imam Syafi’i. Metode istinbath dari masing-masing imam mujtahid, dapat dilihat dari ungkapan dan praktik yang mereka lakukan.

Ketika perkembangan Islam semakin meluas, sehingga menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukannya, akulturasi antara non-Arab dengan Arab terjadi, menjadikan pengetahuan bahasa Arab bergeser dari posisi sedia kala. Akibatnya, terdapat banyak ijtihad mujtahid dan bermacam-macam pula metode dan juga penerapannya. Sehingga hal tersebut berujung kepada semakin meluasnya perdebatan dan semakin banyak menimbulkan syubhat (keraguan).

Untuk  itu,  para  fuqaha`  membutuhkan  kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.

Pendapat yang disepakati oleh para ulama tentang ulama yang berperan dalam merumuskan, mensistematisasi dan membukukan ushulfiqh adalah Imam Muhammad Idris al-Syafi’i, melalui karyanya yang berjudul “Al-Risalah” yakni pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga.

Setelah masa Imam Syafi‘i, pembicaraan tentang ushul fiqh semakin menarik dan semakin  berkembang. Banyak para ulama yang menuliskannya dalam sebuah karya. Mereka merapikan pembahasannya, memperluas dan menambah bahasanya.

 

Wallahu A’lam bi al-Shawab...

Semoga bermanfaat...

 

Sumber:

  • Tarikh Ushul Fiqh
  • Periodisasi Perkembangan Ushul Fiqh
  • NU Online

Rekomendasi untuk Anda:

Posting Komentar