3 Fase Perjalanan Menuntut Ilmu
3 Fase Perjalanan Menuntut Ilmu
Setiap santri/pelajar
akan melewati fase-fase tertentu dalam menuntut ilmu. Ada masa ketika ilmu
membuat seseorang merasa bangga, ada masa ketika ilmu melunakkan hati, hingga
masa ketika ilmu menundukkan jiwa dalam kerendahan hati.
Di awal
perjalanan, sedikit pengetahuan sering membuat hati besar kepala. Namun,
seiring bertambahnya ilmu, tumbuhlah kesadaran bahwa semakin banyak yang
dipelajari, semakin banyak pula yang belum diketahui.
Pada postingan
ini penulis akan menjelaskan 3 fase perjalanan menuntut ilmu yang harus disadari
dan dilewati oleh seorang pelajar, khususnya bagi seorang santri, supaya tidak terjebak,
tertipu, sehingga berhenti di tengah jalan.
Mari ikuti
penjelasan berikut.
3 Fase dalam Belajar
Syekh Bakr Abu
Zaid di dalam kitabnya, Hilyah Thalib al-Ilm, mengutip sebuah kalam
hikmah yang sangat terkenal:
العلم ثلاثة
أشبار: من دخل فى الشبر الأول تكبر و من دخل فى الشبر الثانى تواضع و من دخل فى
الشبر الثالث علم أنه ما يعلم
“Ilmu itu ada tiga
jengkal. Barang siapa yang masuk jengkal pertama, ia menjadi sombong. Barang
siapa yang masuk jengkal kedua, ia menjadi tawadhu’. Barang siapa yang masuk
jengkal ketiga, ia menyadari bahwa ia tidak tahu.”
Berikut uraiannya satu persatu
Sombong di Awal Perjalanan (pertama)
Ketika
seseorang baru saja mulai belajar, biasanya ia hanya mengetahui sedikit saja.
Namun, sedikit ilmu ini sering terasa begitu besar dan merasa ia telah
mengetahui semuanya. Padahal, pengetahuannya hanya secuil dan belum ada apa-apanya.
Di tahap ini, seseorang
akan mudah merasa paling benar. Ia sering meremehkan orang lain yang berbeda
pendapat, bahkan kadang berani mengkritik ulama besar hanya karena baru belajar
dan membaca satu atau dua buku. Fenomena ini mirip dengan pepatah: “Sedikit
ilmu, banyak bicara.”
Imam al-Ghazali
dalam kitabnya, Ihya` Ulum al-Din mengatakan: “Di antara tanda
kesombongan orang berilmu adalah suka meremehkan orang lain, menolak kebenaran,
dan ingin selalu dipuji sebagai orang yang pintar.”
Imam Ahmad bin
Hanbal juga pernah berkata: “Engkau membutuhkan ilmu lebih dari pada engkau
membutuhkan makan dan minum, sebab seseorang membutuhkan makan dan minum sekali
atau dua kali dalam sehari, tetapi ia membutuhkan ilmu sebanyak hembusan
nafasnya.”
Hal ini
menegaskan bahwa ilmu harus menjadi bagian dari hidup kita. Oleh karena itu, teruslah
belajar, bukan hanya untuk menambah pengetahuan, tetapi juga untuk memperbaiki
diri. Ilmu yang benar akan menuntun hati menuju kerendahan, bukan kesombongan.
Tumbuh Rasa Tawadhu’ (kedua)
Seseorang yang
terus belajar dengan tekun, ia akan mulai menyadari betapa luasnya ilmu.
Semakin banyak ia membaca, mendengar, dan berguru, semakin jelas baginya bahwa
lautan ilmu tidak ada habisnya.
Pada tahap ini
muncul sikap tawadhu’ (rendah hati). Orang yang tawadhu’ tidak merasa
paling pintar. Ia justru semakin menghormati orang lain, semakin terbuka
terhadap perbedaan, dan juga semakin menghargai.
Imam
Asy-Syafi’i berkata: “Semakin aku bertambah ilmu, semakin aku bertambah tahu
akan kebodohanku.”
Menyadari Tidak Tahu Apa2 (ketiga)
Semakin tinggi
ilmu seseorang, semakin besar pula kesadarannya bahwa pengetahuannya terbatas. Ilmu
ibarat samudera tanpa tepi. Semakin jauh seseorang berlayar, semakin ia sadar
bahwa cakrawala ilmu tidak akan pernah habis dijelajahi.
Imam Malik bin
Anas, salah satu imam mazhab besar, sering ditanya masalah fiqih. Dari sekian
banyak pertanyaan, beliau tidak segan-segan menjawab “Lā adrī” (saya
tidak tahu). Bahkan disebutkan bahwa dalam satu majelis, dari 40 pertanyaan,
beliau hanya menjawab sebagian kecil dan sisanya dijawab dengan “saya tidak
tahu”.
Beliau berkata:
“Mengucapkan ‘saya tidak tahu’ adalah bagian dari ilmu. Jika engkau lupa,
maka katakanlah: Allah lebih tahu.” (Ibnu Abdil Barr, Jāmi‘ Bayān
al-‘Ilm wa Faḍlih, Juz 2, hlm. 55).
Relevansi dengan Zaman Sekarang
Kalau kita
lihat kehidupan hari ini, pesan ini sangat relevan. Di era digital, informasi
mudah sekali diakses. Hanya dengan mengetik kata kunci di mesin pencari, kita
bisa mendapatkan ribuan artikel, video, atau postingan.
Namun,
masalahnya adalah banyak orang yang berhenti di jengkal pertama. Mereka cepat
merasa tahu hanya karena membaca ringkasan atau menonton potongan video, lalu
merasa cukup untuk mengajar atau bahkan menghakimi orang lain.
Kesimpulan
Syekh Bakr Abu
Zaid mengajarkan kepada kita bahwa ilmu itu ibarat perjalanan melewati tiga
jengkal. Jengkal pertama penuh kesombongan karena merasa sudah tahu banyak.
Jengkal kedua melahirkan tawadhu’ karena sadar bahwa ilmu sangat lah luas. Dan
jengkal ketiga membawa pada kesadaran bahwa manusia sebenarnya tidak tahu
apa-apa.
Pesan ini juga
sejalan dengan perkataan Imam al-Ghazali yang mengingatkan bahayanya kesombongan.
Imam Syafi’i juga menegaskan bahwa ilmu membuat kita sadar dengan kebodohan
diri sendiri.
Dengan memahami
pesan ini, kita bisa menata ulang niat dalam belajar. Ilmu sejati bukan tentang
siapa yang paling tahu, tetapi siapa yang paling rendah hati. Semoga kita semua
diberi taufik untuk melewati setiap fase dalam menuntut ilmu.
Semoga bermanfaat...
Posting Komentar