Jadilah orang pertama yang menerima update artikel terbaru dari kami!!!

3 Fase Perjalanan Menuntut Ilmu

Table of Contents

3 Fase Perjalanan Menuntut Ilmu

Setiap santri/pelajar akan melewati fase-fase tertentu dalam menuntut ilmu. Ada masa ketika ilmu membuat seseorang merasa bangga, ada masa ketika ilmu melunakkan hati, hingga masa ketika ilmu menundukkan jiwa dalam kerendahan hati.

Di awal perjalanan, sedikit pengetahuan sering membuat hati besar kepala. Namun, seiring bertambahnya ilmu, tumbuhlah kesadaran bahwa semakin banyak yang dipelajari, semakin banyak pula yang belum diketahui.

Pada postingan ini penulis akan menjelaskan 3 fase perjalanan menuntut ilmu yang harus disadari dan dilewati oleh seorang pelajar, khususnya bagi seorang santri, supaya tidak terjebak, tertipu, sehingga berhenti di tengah jalan.

Mari ikuti penjelasan berikut.

3 Fase dalam Belajar

Syekh Bakr Abu Zaid di dalam kitabnya, Hilyah Thalib al-Ilm, mengutip sebuah kalam hikmah yang sangat terkenal:

العلم ثلاثة أشبار: من دخل فى الشبر الأول تكبر و من دخل فى الشبر الثانى تواضع و من دخل فى الشبر الثالث علم أنه ما يعلم

“Ilmu itu ada tiga jengkal. Barang siapa yang masuk jengkal pertama, ia menjadi sombong. Barang siapa yang masuk jengkal kedua, ia menjadi tawadhu’. Barang siapa yang masuk jengkal ketiga, ia menyadari bahwa ia tidak tahu.”

Berikut uraiannya satu persatu

Sombong di Awal Perjalanan (pertama)

Ketika seseorang baru saja mulai belajar, biasanya ia hanya mengetahui sedikit saja. Namun, sedikit ilmu ini sering terasa begitu besar dan merasa ia telah mengetahui semuanya. Padahal, pengetahuannya hanya secuil dan belum ada apa-apanya.

Di tahap ini, seseorang akan mudah merasa paling benar. Ia sering meremehkan orang lain yang berbeda pendapat, bahkan kadang berani mengkritik ulama besar hanya karena baru belajar dan membaca satu atau dua buku. Fenomena ini mirip dengan pepatah: “Sedikit ilmu, banyak bicara.”

Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya` Ulum al-Din mengatakan: “Di antara tanda kesombongan orang berilmu adalah suka meremehkan orang lain, menolak kebenaran, dan ingin selalu dipuji sebagai orang yang pintar.”

Imam Ahmad bin Hanbal juga pernah berkata: “Engkau membutuhkan ilmu lebih dari pada engkau membutuhkan makan dan minum, sebab seseorang membutuhkan makan dan minum sekali atau dua kali dalam sehari, tetapi ia membutuhkan ilmu sebanyak hembusan nafasnya.”

Hal ini menegaskan bahwa ilmu harus menjadi bagian dari hidup kita. Oleh karena itu, teruslah belajar, bukan hanya untuk menambah pengetahuan, tetapi juga untuk memperbaiki diri. Ilmu yang benar akan menuntun hati menuju kerendahan, bukan kesombongan.

Tumbuh Rasa Tawadhu’ (kedua)

Seseorang yang terus belajar dengan tekun, ia akan mulai menyadari betapa luasnya ilmu. Semakin banyak ia membaca, mendengar, dan berguru, semakin jelas baginya bahwa lautan ilmu tidak ada habisnya.

Pada tahap ini muncul sikap tawadhu’ (rendah hati). Orang yang tawadhu’ tidak merasa paling pintar. Ia justru semakin menghormati orang lain, semakin terbuka terhadap perbedaan, dan juga semakin menghargai.

Imam Asy-Syafi’i berkata: “Semakin aku bertambah ilmu, semakin aku bertambah tahu akan kebodohanku.”

Menyadari Tidak Tahu Apa2 (ketiga)

Semakin tinggi ilmu seseorang, semakin besar pula kesadarannya bahwa pengetahuannya terbatas. Ilmu ibarat samudera tanpa tepi. Semakin jauh seseorang berlayar, semakin ia sadar bahwa cakrawala ilmu tidak akan pernah habis dijelajahi.

Imam Malik bin Anas, salah satu imam mazhab besar, sering ditanya masalah fiqih. Dari sekian banyak pertanyaan, beliau tidak segan-segan menjawab “Lā adrī” (saya tidak tahu). Bahkan disebutkan bahwa dalam satu majelis, dari 40 pertanyaan, beliau hanya menjawab sebagian kecil dan sisanya dijawab dengan “saya tidak tahu”.

Beliau berkata: “Mengucapkan ‘saya tidak tahu’ adalah bagian dari ilmu. Jika engkau lupa, maka katakanlah: Allah lebih tahu.” (Ibnu Abdil Barr, Jāmi‘ Bayān al-‘Ilm wa Faḍlih, Juz 2, hlm. 55).

Relevansi dengan Zaman Sekarang

Kalau kita lihat kehidupan hari ini, pesan ini sangat relevan. Di era digital, informasi mudah sekali diakses. Hanya dengan mengetik kata kunci di mesin pencari, kita bisa mendapatkan ribuan artikel, video, atau postingan.

Namun, masalahnya adalah banyak orang yang berhenti di jengkal pertama. Mereka cepat merasa tahu hanya karena membaca ringkasan atau menonton potongan video, lalu merasa cukup untuk mengajar atau bahkan menghakimi orang lain.

Kesimpulan

Syekh Bakr Abu Zaid mengajarkan kepada kita bahwa ilmu itu ibarat perjalanan melewati tiga jengkal. Jengkal pertama penuh kesombongan karena merasa sudah tahu banyak. Jengkal kedua melahirkan tawadhu’ karena sadar bahwa ilmu sangat lah luas. Dan jengkal ketiga membawa pada kesadaran bahwa manusia sebenarnya tidak tahu apa-apa.

Pesan ini juga sejalan dengan perkataan Imam al-Ghazali yang mengingatkan bahayanya kesombongan. Imam Syafi’i juga menegaskan bahwa ilmu membuat kita sadar dengan kebodohan diri sendiri.

Dengan memahami pesan ini, kita bisa menata ulang niat dalam belajar. Ilmu sejati bukan tentang siapa yang paling tahu, tetapi siapa yang paling rendah hati. Semoga kita semua diberi taufik untuk melewati setiap fase dalam menuntut ilmu.

Semoga bermanfaat...

Posting Komentar