Jadilah orang pertama yang menerima update artikel terbaru dari kami!!!

Kebiasaan Orang Gagal: Membandingkan dan Membenarkan Diri Serta Mencaci

Daftar Isi

 

Kebiasaan Orang Gagal

Dalam perjalanan hidup, kita sering terjebak dalam perangkap paling berbahaya namun tak kasat mata yakni membandingkan diri dengan orang lain dan mencari-cari pembenaran atas kesalahan sendiri. 

Dua hal ini kerap membuat kita terpuruk dalam keangkuhan batin dan menutup pintu hidayah. 

Namun tahukah kamu bahwa puncak dari sikap seperti ini adalah ucapan yang hina dan merendahkan?

Imam Asy-Sya’rani pernah mengatakan dengan tajam:

سلاح اللئام قبيح الكلام

"Senjata orang-orang hina adalah ucapan yang kotor (caci maki).”

Ucapan ini bukan hanya sindiran, tapi sebuah peringatan keras bagi mereka yang lebih memilih mencaci daripada memperbaiki diri. 

Artikel ini akan mengajak kamu untuk merenung, belajar dari para ulama besar, dan membuka kembali jalan menuju ketulusan spiritual serta bimbingan sejati dari seorang guru.

Membandingkan Diri: Jalan Pintas Menuju Keterpurukan

Di era media sosial seperti sekarang, membandingkan diri dengan orang lain terasa seperti hal biasa. 

Tapi hati-hati! Membandingkan diri secara terus-menerus adalah cara tercepat untuk menghancurkan rasa syukur dan merusak jati diri.

Ketika kamu mulai berkata:

“Dia lebih sukses dari aku.”

“Kenapa hidupku begini-begini saja?”

“Pendapatku lebih masuk akal dari pada guruku.”

…itulah awal dari kehancuran ruhani. Dalam Islam, kita diajarkan untuk selalu introspeksi, bukan membandingkan.

Mencari Pembenaran: Tanda Hati yang Takut Tunduk

Lebih parah lagi, setelah membandingkan, kita mulai mencari pembenaran. 

Kita tahu bahwa kita salah, tapi ego terus mendorong untuk mencari-cari alasan agar tetap merasa benar. Ini adalah penyakit hati yang sangat berbahaya.

Al-Habib Anies bin Alwy bin Ali Al-Habsy menyentil fenomena ini dengan kata-kata bijaknya:

“Kalau kalian punya pendapat sendiri maka jangan meminta pendapat kepada Syeikh, akhirnya jadi kualat. Jika mau menerima pendapat Syeikh, siap tinggalkan pendapat yang kita punya.”

Ungkapan ini menyindir keras mereka yang sok bertanya pada ulama, tapi hanya untuk mencari penguat ego mereka. Mereka tidak ingin kebenaran, tapi pembenaran.

Kenapa Kita Butuh Guru (Mursyid)?

Dalam dunia tasawuf dan perjalanan spiritual menuju Allah, keberadaan seorang guru (mursyid) adalah kunci. 

Tanpa bimbingan seorang guru, kita rentan tersesat oleh bisikan nafsu dan syahwat yang menyamar sebagai “inspirasi batin”.

Imam Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad dalam Risalah Adab Sulukil Murid berkata:

"Jika engkau telah menemukan seorang guru... maka pasrahkan dirimu padanya, dan mintalah fatwa kepadanya dalam setiap urusanmu... ikutilah semua perilaku serta ucapannya...”

Inilah adab murid sejati. Seorang murid tidak merasa lebih tahu dari gurunya, tidak merasa sudah cukup. Ia justru merasa hina tanpa bimbingan guru.

Ketika Ego Menolak Nasehat

Salah satu penghalang terbesar dalam menerima nasihat guru adalah ego. 

Kadang hati kita berbisik:

“Ah, dia juga manusia biasa.”

“Aku juga punya akal dan pengalaman.”

“Aku tahu apa yang aku lakukan.”

Kalimat-kalimat seperti ini terdengar rasional, tapi sebenarnya adalah bentuk pemberontakan batin terhadap hidayah. 

Imam Al-Haddad menasihati:

“Jika dalam hatimu terjadi sesuatu bisikan buruk tentangnya, maka bersungguh-sungguhlah engkau dalam menghilangkan hal tersebut darimu.”

Jika tidak bisa membersihkan bisikan itu, maka ceritakanlah pada gurumu. Inilah bentuk kejujuran dan adab seorang murid. 

Bukan menggunjing, bukan mencari pembenaran di balik punggung.

Ucapan Kotor: Refleksi Jiwa yang Sakit

Kembali pada ucapan Imam Asy-Sya’rani:

"Senjata orang-orang hina adalah ucapan yang kotor."

Mengapa orang hina memilih kata-kata yang kotor?

Karena mereka tak punya lagi argumentasi yang logis atau hati yang bersih. Mereka tak mampu berdebat dengan adab, tak bisa menasihati dengan kasih, akhirnya mereka memilih caci maki sebagai jalan terakhir.

Seseorang yang mencaci, menghina, dan merendahkan orang lain sesungguhnya sedang menunjukkan keputusasaan hatinya. Dan inilah puncak kehinaan. Baca: cara menghadapi gunjingan orang lain

Meninggalkan Pendapat Sendiri: Jalan Menuju Ilmu Hakiki

Belajar agama bukan seperti mengikuti seminar motivasi. Ini tentang adab, tentang menerima ilmu dari sumber yang bersambung pada Rasulullah saw. 

Karena itu, ketika kita bertanya kepada seorang ulama, kita harus siap meninggalkan pendapat pribadi.

Ini bukan bentuk kebodohan, tapi bentuk tawadhu’.

Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad menulis dengan tegas:

"Janganlah engkau menentang keadaannya sedikitpun baik secara dzahir maupun batin."

Inilah bentuk totalitas dalam berguru. Bukan fanatisme buta, tapi penghormatan kepada orang yang telah menempuh jalan lebih dahulu.

Musyawarah dengan Guru: Membangun Kepercayaan Ruhani

Islam mengajarkan musyawarah, bukan hanya dalam politik atau rumah tangga, tapi juga dalam kehidupan spiritual. 

Musyawarah dengan guru adalah bentuk ketaatan dan kepercayaan. Ketika kita terbuka dengan guru, Allah akan membukakan hati kita untuk menerima hidayah.

Kata Imam Al-Haddad:

“Ceritakan pada gurumu setiap sesuatu yang terjadi padamu, terutama dalam hal yang berkaitan dengan jalan menuju Allah.”

Jangan hanya datang kepada guru saat kamu butuh. Datanglah untuk mengabarkan, untuk mencurahkan hati, dan untuk meminta arahan. Itulah murid sejati.

Mengapa Banyak Orang Gagal dalam Berguru?

Banyak yang mengaku punya guru, tapi tidak pernah tunduk. Mereka hanya mengambil ilmu, tapi tak pernah mengambil adab.

Penyebabnya:

Terlalu percaya diri dan merasa cukup.

Trauma masa lalu dengan sosok tokoh agama.

Mengikuti tren spiritualitas tapi tak mau komitmen.

Mencari guru yang cocok dengan hawa nafsu.

Padahal, keberhasilan dalam berguru tergantung pada sejauh mana kita mampu merendahkan diri, bukan sejauh mana guru menyenangkan kita.

Apa Kata Ulama tentang Adab Berguru?

Imam Malik tak pernah belajar pada Imam Ja'far kecuali dengan pakaian terbaik dan wudhu sempurna, karena menganggapnya pewaris Nabi.

Imam Syafi’i berdiri berjam-jam di luar rumah Imam Malik, hanya demi menanti waktu yang tepat untuk bertanya.

Imam Ghazali pernah membuang semua logika filsafatnya demi menemukan hakikat ilmu dari seorang mursyid sufi.

Ini bukan hanya sejarah. Ini adalah pelajaran yang harus kita ulangi hari ini.

Penutup: Saatnya Diam dan Menerima Kebenaran

Kita hidup di zaman kebisingan. Semua ingin bicara, semua merasa paling tahu, semua ingin berdebat. 

Tapi dalam dunia ruhani, kadang diam lebih bernilai dari seribu argumen. Kadang menerima lebih tinggi dari pada menolak.

Bila kamu benar-benar ingin berubah, berhentilah membandingkan dirimu. Berhentilah mencari pembenaran. 

Bersihkan hatimu dari caci maki. Dan serahkanlah dirimu kepada guru yang membimbingmu menuju Allah.

Ingatlah:

"Senjata orang-orang hina adalah ucapan yang kotor."

Jangan sampai senjata itu menjadi milikmu.

Wallahu A'lam


Referensi: kitab Risalah Adabu Sulukil Murid 

Muhammad Khalidin Aly
Muhammad Khalidin Aly Inspirasi Hikmah Menggapai Himmah

Posting Komentar