Jadilah orang pertama yang menerima update artikel terbaru dari kami!!!

Apakah Maksiat Menghilangkan Ilmu?

Daftar Isi

Apakah Maksiat Menghilangkan Ilmu?

Ilmu bagaikan air, dan hati adalah gelas yang menjadi wadahnya. Kualitas gelas sangat mempengaruhi kualias air di dalamnya. Jika gelasnya bersih, maka airnya pun bersih dan segar. Sebaliknya, jika gelasnya kotor, maka airnya pun akan kotor dan tidak bisa diminum.

Dalam menuntut ilmu, hendaknya hati bersih dari sifat tercela. Ini merupakan salah satu syarat utama bagi penuntut ilmu. Bagaimana supaya hati yang akan disinggahi ilmu, betul-betul bersih dari hal-hal menghalangi masuknya ilmu.

Hati yang akan disinggahi ilmu, harus benar-benar bersih dari apa pun yang bisa menghalangi masuknya ilmu. Sebagaimana Imam al-Ghazali menjelaskan di dalam kitabnya Ihya` Ulum al-Din:

 الوظيفة الأولى: تقديم طهارة النفس عن رذائل الأخلاق و مذموم الأوصاف إذ العلم عبادة القلب و صلاة السر و قربة الباطن إلى الله تعالى. و كما لا تصح الصلاة التي هي وظيفة الجوارح الظاهرة إلا بتطهير الظاهر عن الأحداث و الأخباث فكذلك لا تصح عبادة الباطن و عمارة القلب بالعلم إلا بعد طهارته عن خبائث الأخلاق و أنجاس الأوصاف.

“Syarat yang pertama dalam menuntut ilmu adalah mensucikan hati dari prilaku-prilaku buruk dan sifat-sifat tercela. Karena pada hakikatnya, mencari ilmu merupakan ibadah hati, shalat yang bersifat rahasia, dan mendekatkan diri kepada Allah ta’ala secara batin. Sebagaimana shalat yang merupakan ibadah zahir tidak sah kecuali dengan mensucikan diri secara zahir dari hadats dan najis. Demikian pula dalam menghidupkan hati dengan ilmu, tidak bisa kecuali setelah mensucikan hati dari prilaku-prilaku buruk dan sifat-sifat yang najis.”

Dari penjelasan di atas, dapat kita pahami bahwa Imam al-Ghazali menganalogikan orang yang mencari ilmu itu layaknya orang yang menunaikan shalat. Shalat tidak akan sah kecuali suci dari hadats dan najis.

Demikian pula dalam menuntut ilmu, tidak bisa maksimal kecuali mensucikan hati dari sifat dan prilaku yang tercela terlebih dahulu seperti rasa sombong, dengki, dendam, dan lain sebagainya.

Dalam hal ini, Imam al-Ghazali mengutip sebuah hadis:

 بني الدين على النظافة

“Agama dibangun atas dasar kebersihan.”

Melalui hadis ini, Imam al-Ghazali menegaskan bahwa kebersihan, baik secara zahir maupun batin, merupakan sesuatu yang penting dalam agama. Demikian pula dalam menuntut ilmu yang merupakan hal urgen dalam agama, kebersihan hati menjadi syarat yang tidak boleh dilupakan. 

Kebersihan itu tidak hanya berkaitan dengan sesuatu yang terlihat oleh mata saja. Namun, sesuatu yang tidak terlihat (abstrak) pun juga bisa kotor dan bersih. Kadang sesuatu yang begitu terlihat bersih luarnya, tetapi dalamnya kotor dan najis.

Begitu juga sebaliknya, kadang luarnya kotor, tapi dalamnya bersih dan suci. hal ini bisa kita lihat dalam salah satu hadits Nabi yang berbunyi:

إنما المشركون نجس

“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu adalah najis.”

Bagaimana maksud ‘najis’ dalam hadits ini? Maksudnya adalah orang Musyrik (yang menyekutukan Allah SWT.) najis secara batin. Kendati badannya tampak bersih dan wangi. Namun bersih dan wanginya itu hanya di luarnya saja.

Kemusyrikan dalam dirinya lah yang membuat najis secara batin. Artinya, hati yang merupakan perkara batin, juga bisa suci dan najis. Najisnya hati itu adalah ketika di dalamnya bersemayam dengan sifat-sifat tercela.

Lalu bagaimana dengan orang-orang yang gemar melakukan maksiat dan jelas memiliki sifat-sifat buruk serta hatinya kotor dan najis. Tetapi mereka tetap diberikan ilmu oleh Allah SWT?

Menurut Imam al-Ghazali, maksiat yang ia lakukan adalah racun yang ia sadari bahwa itu adalah racun. Ia tahu dan sadar bahwa maksiat dapat membuat kotor hatinya, tetapi tetap saja ia lakukan.

Imam al-Ghazali juga mengatakan: Sesungguhnya yang diperolehnya itu bukanlah ilmu sejati. Karena ilmu yang ia miliki, hanya sebatas materi yang ia baca dan ia hafalkan saja. Tetapi tidak tertancap di dalam hati dan menjadi cahanya baginya.

Oleh karena itu, Ibnu Mas’ud pernah berkata:

 ليس العلم بكثرة الرواية إنما العلم نور يقذف في القلب

“Ilmu sejati bukanlah dengan banyaknya riwayat, tetapi ilmu sejati adalah cahaya yang terpatri di hati.”

Oleh karena itu, menurut Imam al-Ghazali, jika ada ulama besar dengan ilmu agama yang dalam dan luas, tapi akhlaknya buruk. Maka ulama itu adalah orang yang ilmunya sedikit manfaat. Ilmu yang bermanfaat adalah jika diamalkan karena Allah ta’ala dan semakin meningkatkan pemiliknya untuk takut dan dekat dengannya. 

Imam Syafi’i juga mengatakan:

 و أخبرني بأن العلم نور # و نور الله لا يهدي للعاصي

“Ia (Syekh Waki’) berkata padaku bahwa ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak akan diberikan pada orang yang berbuat bermaksiat.”

 

Wallahu A’lam bi al-Shawab…

Semoga bermanfaat…

Posting Komentar