Apakah Maksiat Menghilangkan Ilmu?
Apakah Maksiat Menghilangkan Ilmu?
Ilmu bagaikan
air, dan hati adalah gelas yang menjadi wadahnya. Kualitas gelas sangat
mempengaruhi kualias air di dalamnya. Jika gelasnya bersih, maka airnya pun
bersih dan segar. Sebaliknya, jika gelasnya kotor, maka airnya pun akan kotor
dan tidak bisa diminum.
Dalam menuntut
ilmu, hendaknya hati bersih dari sifat tercela. Ini merupakan salah satu syarat
utama bagi penuntut ilmu. Bagaimana supaya hati yang akan disinggahi ilmu,
betul-betul bersih dari hal-hal menghalangi masuknya ilmu.
Hati yang akan
disinggahi ilmu, harus benar-benar bersih dari apa pun yang bisa menghalangi
masuknya ilmu. Sebagaimana Imam al-Ghazali menjelaskan di dalam kitabnya Ihya`
Ulum al-Din:
الوظيفة الأولى:
تقديم طهارة النفس عن رذائل الأخلاق و مذموم الأوصاف إذ العلم عبادة القلب و صلاة
السر و قربة الباطن إلى الله تعالى. و كما لا تصح الصلاة التي هي وظيفة الجوارح
الظاهرة إلا بتطهير الظاهر عن الأحداث و الأخباث فكذلك لا تصح عبادة الباطن و
عمارة القلب بالعلم إلا بعد طهارته عن خبائث الأخلاق و أنجاس الأوصاف.
“Syarat yang
pertama dalam menuntut ilmu adalah mensucikan hati dari prilaku-prilaku buruk
dan sifat-sifat tercela. Karena pada hakikatnya, mencari ilmu merupakan ibadah
hati, shalat yang bersifat rahasia, dan mendekatkan diri kepada Allah ta’ala
secara batin. Sebagaimana shalat yang merupakan ibadah zahir tidak sah kecuali
dengan mensucikan diri secara zahir dari hadats dan najis. Demikian pula dalam
menghidupkan hati dengan ilmu, tidak bisa kecuali setelah mensucikan hati dari prilaku-prilaku
buruk dan sifat-sifat yang najis.”
Dari penjelasan
di atas, dapat kita pahami bahwa Imam al-Ghazali menganalogikan orang yang
mencari ilmu itu layaknya orang yang menunaikan shalat. Shalat tidak akan sah
kecuali suci dari hadats dan najis.
Demikian pula
dalam menuntut ilmu, tidak bisa maksimal kecuali mensucikan hati dari sifat dan
prilaku yang tercela terlebih dahulu seperti rasa sombong, dengki, dendam, dan
lain sebagainya.
Dalam hal ini, Imam
al-Ghazali mengutip sebuah hadis:
بني الدين على
النظافة
“Agama dibangun
atas dasar kebersihan.”
Melalui hadis ini,
Imam al-Ghazali menegaskan bahwa kebersihan, baik secara zahir maupun batin,
merupakan sesuatu yang penting dalam agama. Demikian pula dalam menuntut ilmu
yang merupakan hal urgen dalam agama, kebersihan hati menjadi syarat yang tidak
boleh dilupakan.
Kebersihan itu
tidak hanya berkaitan dengan sesuatu yang terlihat oleh mata saja. Namun, sesuatu
yang tidak terlihat (abstrak) pun juga bisa kotor dan bersih. Kadang sesuatu yang
begitu terlihat bersih luarnya, tetapi dalamnya kotor dan najis.
Begitu juga
sebaliknya, kadang luarnya kotor, tapi dalamnya bersih dan suci. hal ini bisa
kita lihat dalam salah satu hadits Nabi yang berbunyi:
إنما المشركون
نجس
“Sesungguhnya
orang-orang musyrik itu adalah najis.”
Bagaimana
maksud ‘najis’ dalam hadits ini? Maksudnya adalah orang Musyrik (yang
menyekutukan Allah SWT.) najis secara batin. Kendati badannya tampak bersih dan
wangi. Namun bersih dan wanginya itu hanya di luarnya saja.
Kemusyrikan
dalam dirinya lah yang membuat najis secara batin. Artinya, hati yang merupakan
perkara batin, juga bisa suci dan najis. Najisnya hati itu adalah ketika di
dalamnya bersemayam dengan sifat-sifat tercela.
Lalu bagaimana
dengan orang-orang yang gemar melakukan maksiat dan jelas memiliki sifat-sifat
buruk serta hatinya kotor dan najis. Tetapi mereka tetap diberikan ilmu oleh
Allah SWT?
Menurut Imam al-Ghazali,
maksiat yang ia lakukan adalah racun yang ia sadari bahwa itu adalah racun. Ia
tahu dan sadar bahwa maksiat dapat membuat kotor hatinya, tetapi tetap saja ia
lakukan.
Imam al-Ghazali
juga mengatakan: Sesungguhnya yang diperolehnya itu bukanlah ilmu sejati. Karena
ilmu yang ia miliki, hanya sebatas materi yang ia baca dan ia hafalkan saja.
Tetapi tidak tertancap di dalam hati dan menjadi cahanya baginya.
Oleh karena
itu, Ibnu Mas’ud pernah berkata:
ليس العلم بكثرة
الرواية إنما العلم نور يقذف في القلب
“Ilmu sejati
bukanlah dengan banyaknya riwayat, tetapi ilmu sejati adalah cahaya yang
terpatri di hati.”
Oleh karena
itu, menurut Imam al-Ghazali, jika ada ulama besar dengan ilmu agama yang dalam
dan luas, tapi akhlaknya buruk. Maka ulama itu adalah orang yang ilmunya
sedikit manfaat. Ilmu yang bermanfaat adalah jika diamalkan karena Allah ta’ala
dan semakin meningkatkan pemiliknya untuk takut dan dekat dengannya.
Imam Syafi’i
juga mengatakan:
و أخبرني بأن
العلم نور # و نور الله لا يهدي للعاصي
“Ia (Syekh
Waki’) berkata padaku bahwa ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak akan
diberikan pada orang yang berbuat bermaksiat.”
Wallahu A’lam
bi al-Shawab…
Semoga
bermanfaat…
Posting Komentar