Jadilah orang pertama yang menerima update artikel terbaru dari kami!!!

Penerapan Sanksi Finansial dalam Hukum Islam

Daftar Isi

Penerapan Sanksi Finansial dalam Hukum Islam

Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin, yang mana segala aspek sudah diatur demi kemaslahatan umat manusia. Dalam memahami beragam problematika yang terjadi butuh penalaran yang sesuai dengan tuntutan syariat, sehingga tidak merongrong etika dan aturan, karena hanya mempertimbangkan secara logika saja.

Di antaranya adalah penerapan sanksi finansial di dalam masyarakat. Secara kasat mata, banyak keuntungan yang akan diperoleh dari penerapan model seperti ini. Setiap kesalahan yang melanggar aturan dalam masyarakat misalnya, maka dengan sanksi finansial dapat memberi jalan dan solusi untuk perbaikan dan kontruksi, baik dari segi sosial maupun infrastruktur.

Namun, bagaimana sebenarnya pandangan Islam dalam penerapan sanksi seperti ini? Pada postingan ini, penulis akan menjelaskan tentang apa itu sanksi finansial dan bagaimana pandangan syara’ dalam menerapkannya.

Pengertian Sanksi Finansial

Sanksi Finansial adalah penerapan sanksi pengambilan harta terhadap jinayat atau pelanggaran yang tidak berkaitan dengan harta. Artinya, penerapan sanksi dengan cara mengambil harta, yang kemudian bayaran tersebut akan dimiliki oleh individu tertentu, kelompok atau negara pada tindakan kriminal atau pelanggaran, yang tidak berhubungan dengan pengambilan harta atau tindakan yang memberi dampak kerugian harta bagi orang lain.

Adapun kasus sanksi finansial yang berbentuk ganti rugi atas perusakan atau penghilangan terhadap harta milik orang lain, pemusnahan harta karena pelanggaran yang berkaitan dengan harta seperti ditumpahkannya susu palsu yang telah dicampuri dengan air di masa Sahabat, atau diambil alih harta seorang pemimpin untuk negara, karena dianggap memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya pribadi dan memperoleh harta tersebut dengan cara yang tidak berhak.

Pembagian Sanksi dalam Islam

Dalam syari’at islam, sanksi terbagi dua: Pertama, sanksi yang dibatasi oleh nash baik Al-Qur’an maupun hadis. Hal ini tidak dibisa ditambahkan maupun dikurangi. Kedua, sanksi yang tidak dibatasi oleh nash baik Al-Qur’an maupun hadis. Hal ini kembali kepada kebijakan hakim yang memutuskan hukum menurut pelanggaran dan pelaku.

Hukum Penerapan Sanksi Finansial

Hukum sanksi dengan cara pengambilan harta, 4 mazhab sepakat mengharamkannya, mazhab Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali.

Dalam Mazhab Syafi’i, terdapat dua bentuk sanksi, had dan ta’zir, sebagaimana yang telah penulis jelaskan sebelumnya. Ta’zir kembali kepada kebijakan hakim yang memutuskan hukum menurut pelanggaran dan pelaku. Tidak termasuk dalam opsi ta’zir adalah ta’zir dengan pengambilan harta. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Fiqh al-Islamī wa Adillatuh:

لا يجوز التعزير بأخذ المال في الراجح عند الأئمة

“Tidak dibolehkan menerapkan sanksi finansial berdasarkan pendapat kuat disisi para Imam mazhab”.

Dalam mazhab Maliki sebagaimana yang termaktub dalam kitab Tanwir al-Abshar bahwa tidak boleh ta’zir dengan cara pengambilan harta menurut mazhab.

Adapun Ad-Durr al-Mukhtar ketika men-ta’liq kata al-Mazhab, beliau menjelaskan bahwa ada yang meriwayatkan dari Abu Yusuf bahwa boleh bagi Sultan untuk menerapkan denda dengan pengambilan harta. Ibnu Abidin di dalam hasyiah-nya, ini merupakan riwayat yang lemah dari Abu Yusuf, dimana Al-Syurunbulaly mengatakan tidak boleh difatwakan.

Kemudian di samping itu, menurut Al-Bazzaziyah, salah seorang ulama mazhab Hanafi, bahwa maksud ta’zir dengan mengambil harta bagi yang membolehkannya adalah menahan sesaat hingga memberi efek jera lalu mengembalikannya, bukan diambil untuk hakim sendiri atau untuk baitul mal, sebagaimana dipahami oleh orang yang zalim, karena tidak boleh bagi seorang pun untuk mengambil harta kaum Muslimin dengan tanpa sebab syar’i.

Kemudian Ibnu Abidin berkata,”kesimpulannya bahwa sesungguhnya menurut mazhab, tidak dibolehkan ta’zir dengan mengambil harta.” Demikian apa yang disampaikan oleh Ibnu Abidin, Khatamul Muhaqqiqin dalam mazhab Hanafi yang sejajar Ibnu Hajar al-Haitami dalam mazhab Syafi’i.

Hal yang sama juga berlaku dalam mazhab Hambali. Ibnu Qudamah dalam kitab Mughni-nya, setelah menyampaikan beberapa bentuk ta’zir yang dibolehkan, menutup pernyataannya dengan mengatakan tidak boleh ta’zir dengan mengambil harta.

Dengan demikian dapat dipahami dengan jelas bahwa mazhab empat, memiliki satu kesepakatan bahwa ta’zir tidak dibolehkan dengan cara mengambil harta orang yang dita’zir yang kemudian harta itu dimiliki oleh pihak lain.

Filosofi Penerapan Sanksi

Salah satu fungsi penerapan sanksi terhadap pelaku kriminal dan penyimpangan adalah mengarahkan si pelaku dan orang lain untuk menjauhi dari terjerumus dalam pelanggaran-pelanggaran dengan wasilah yang membuat si pelaku merasa jera dan sempit.

Hikmah dari pemberian sanksi terhadap pelaku kriminal atau pelanggar hukum adalah untuk mendorong mereka dan juga orang lain agar menjauhi aksi kriminalitas dan pelanggaran hukum, dengan memberikan rasa nyeri (al-ilam) atau dengan dikekang dan dibatasi (tadhyiq), sesuai dengan bentuk pelanggaran yang dilakukan yang menjadi sarana untuk mendapatkan kelezatan atau memperoleh kehasilan lewat cara yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat.

Hal tersebut menghendaki untuk diletakkannya sanksi tertentu pada setiap tindakan yang menyalahi aturan syariat, dimana sifat dari sanksi itu dapat membendung manusia dari melakukan pelanggaran dan mendorong mereka untuk saling mengingatkan satu sama lain agar tidak berbuat pelanggaran.

Tujuan ini hanya akan sempurna ketika sanksi yang diterapkan bersifat idhrar (memberatkan dan tidak ada yang merasa diuntungkan) dari seluruh sisi dan untuk semua kalangan manusia.

Jika sanksi semacam itu yang diterapkan, maka akan muncul kesamaan persepsi seluruh manusia dalam memandang jarimah (pelanggaran) dengan segala perbedaan kondisi dan strata sosial mereka, sebagaimana keadaan dari jarimah itu sendiri yang memunculkan kemudharatan untuk semua kalangan.

Prinsip dari sanksi yang diterapkan dalam Islam yang bertujuan agar samanya persepsi masyarakat terhadap kejahatan dan pelanggaran, dimana mereka saling mengingatkan satu sama lain, tidak akan terwujud jika bentuk sanksi yang diterapkan adalah pembayaran harta.

Malah kemungkinan yang akan terjadi sebaliknya. Akan terjadi pembiaran demi pembiaran, akan muncul pihak-pihak yang sengaja menunggu dan mengharapkan adanya "Kari Kambing Gratis" dari hasil khalwat akibat aturan adat yang salah kaprah.

Akan muncul lembaga pendidikan yang ingin mengambil harta dari peserta didik untuk cepat terbangun yayasan yang didirikannya, serta juga akan muncul orang-orang zalim yang berlindung di balik kekuasaan dan jabatan dalam pemerintahan untuk merampas harta-harta rakyat dengan cara yang tidak berhak.

Saat ini, banyak sekali ditemukan penerapan sanksi dengan cara pengambilan harta terhadap berbagai bentuk pelanggaran, baik sanksi itu ditetapkan oleh pemerintah, masyarakat adat, dan termasuk lembaga pendidikan. Dimana banyak orang yang beralasan bahwa penerapan sanksi dengan pegambilan harta perlu dilakukan untuk tujuan kemaslahatan.

Padahal, kemaslahatan yang sesungguhnya adalah kemaslahatan yang sudah terbingkai dalam aturan syariat Islam. Kemaslahatan yang sudah tertampung di bawah payung hukum Islam adalah kemaslahatan untuk semua, baik duniawi maupun ukhrawi.

Semoga postingan ini, dapat membantu teman-teman dalam memahami bagaimana pandangan Islam tentang penerapan sanksi finansial.

 

Wallahu a’lam bi al-Shawab...

Semoga bermanfaat...

 

Sumber:

Al-Fiqh al-Islamī wa Adillatuh

Muhadharat fi al-Fiqh al-Muqaran

FB Muhammad Iqbal Jalil

Posting Komentar