Penerapan Sanksi Finansial dalam Hukum Islam
Penerapan Sanksi Finansial dalam Hukum Islam
Islam adalah
agama yang rahmatan lil alamin, yang mana segala aspek sudah diatur demi
kemaslahatan umat manusia. Dalam memahami beragam problematika yang terjadi
butuh penalaran yang sesuai dengan tuntutan syariat, sehingga tidak merongrong
etika dan aturan, karena hanya mempertimbangkan secara logika saja.
Di antaranya
adalah penerapan sanksi finansial di dalam masyarakat. Secara kasat mata,
banyak keuntungan yang akan diperoleh dari penerapan model seperti ini. Setiap
kesalahan yang melanggar aturan dalam masyarakat misalnya, maka dengan sanksi
finansial dapat memberi jalan dan solusi untuk perbaikan dan kontruksi, baik
dari segi sosial maupun infrastruktur.
Namun,
bagaimana sebenarnya pandangan Islam dalam penerapan sanksi seperti ini? Pada
postingan ini, penulis akan menjelaskan tentang apa itu sanksi
finansial dan bagaimana pandangan syara’ dalam menerapkannya.
Pengertian Sanksi Finansial
Sanksi
Finansial adalah penerapan sanksi pengambilan harta terhadap jinayat atau
pelanggaran yang tidak berkaitan dengan harta. Artinya, penerapan sanksi dengan
cara mengambil harta, yang kemudian bayaran tersebut akan dimiliki oleh
individu tertentu, kelompok atau negara pada tindakan kriminal atau pelanggaran,
yang tidak berhubungan dengan pengambilan harta atau tindakan yang memberi
dampak kerugian harta bagi orang lain.
Adapun kasus
sanksi finansial yang berbentuk ganti rugi atas perusakan atau penghilangan
terhadap harta milik orang lain, pemusnahan harta karena pelanggaran yang
berkaitan dengan harta seperti ditumpahkannya susu palsu yang telah dicampuri
dengan air di masa Sahabat, atau diambil alih harta seorang pemimpin untuk
negara, karena dianggap memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya pribadi dan
memperoleh harta tersebut dengan cara yang tidak berhak.
Pembagian Sanksi dalam Islam
Dalam syari’at
islam, sanksi terbagi dua: Pertama, sanksi yang dibatasi oleh nash baik
Al-Qur’an maupun hadis. Hal ini tidak dibisa ditambahkan maupun dikurangi.
Kedua, sanksi yang tidak dibatasi oleh nash baik Al-Qur’an maupun hadis. Hal
ini kembali kepada kebijakan hakim yang memutuskan hukum menurut pelanggaran
dan pelaku.
Hukum Penerapan Sanksi Finansial
Hukum sanksi
dengan cara pengambilan harta, 4 mazhab sepakat mengharamkannya, mazhab Syafi’i,
Maliki, Hanafi dan Hambali.
Dalam Mazhab
Syafi’i, terdapat dua bentuk sanksi, had dan ta’zir, sebagaimana yang telah
penulis jelaskan sebelumnya. Ta’zir kembali kepada kebijakan hakim yang
memutuskan hukum menurut pelanggaran dan pelaku. Tidak termasuk dalam opsi ta’zir
adalah ta’zir dengan pengambilan harta. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Fiqh
al-Islamī wa Adillatuh:
لا يجوز التعزير
بأخذ المال في الراجح عند الأئمة
“Tidak dibolehkan
menerapkan sanksi finansial berdasarkan pendapat kuat disisi para Imam mazhab”.
Dalam mazhab
Maliki sebagaimana yang termaktub dalam kitab Tanwir al-Abshar bahwa tidak
boleh ta’zir dengan cara pengambilan harta menurut mazhab.
Adapun Ad-Durr al-Mukhtar ketika men-ta’liq
kata al-Mazhab, beliau menjelaskan bahwa ada yang meriwayatkan
dari Abu Yusuf bahwa boleh bagi Sultan untuk menerapkan denda dengan
pengambilan harta. Ibnu Abidin di dalam hasyiah-nya, ini merupakan riwayat yang
lemah dari Abu Yusuf, dimana Al-Syurunbulaly mengatakan tidak boleh difatwakan.
Kemudian di samping itu, menurut Al-Bazzaziyah, salah seorang ulama
mazhab Hanafi, bahwa maksud ta’zir dengan mengambil harta bagi yang membolehkannya
adalah menahan sesaat hingga memberi efek jera lalu mengembalikannya, bukan
diambil untuk hakim sendiri atau untuk baitul mal, sebagaimana dipahami oleh
orang yang zalim, karena tidak boleh bagi seorang pun untuk mengambil harta
kaum Muslimin dengan tanpa sebab syar’i.
Kemudian Ibnu Abidin berkata,”kesimpulannya bahwa sesungguhnya menurut
mazhab, tidak dibolehkan ta’zir dengan mengambil harta.” Demikian apa yang
disampaikan oleh Ibnu Abidin, Khatamul Muhaqqiqin dalam mazhab Hanafi yang
sejajar Ibnu Hajar al-Haitami dalam mazhab Syafi’i.
Hal yang sama juga berlaku dalam mazhab
Hambali. Ibnu Qudamah dalam kitab Mughni-nya, setelah menyampaikan beberapa
bentuk ta’zir yang dibolehkan, menutup pernyataannya dengan mengatakan tidak
boleh ta’zir dengan mengambil harta.
Dengan demikian dapat dipahami dengan jelas
bahwa mazhab empat, memiliki satu kesepakatan bahwa ta’zir tidak dibolehkan
dengan cara mengambil harta orang yang dita’zir yang kemudian harta itu
dimiliki oleh pihak lain.
Filosofi Penerapan Sanksi
Salah satu
fungsi penerapan sanksi terhadap pelaku kriminal dan penyimpangan adalah
mengarahkan si pelaku dan orang lain untuk menjauhi dari terjerumus dalam
pelanggaran-pelanggaran dengan wasilah yang membuat si pelaku merasa jera dan
sempit.
Hikmah dari pemberian sanksi terhadap pelaku kriminal atau pelanggar
hukum adalah untuk mendorong mereka dan juga orang lain agar menjauhi aksi
kriminalitas dan pelanggaran hukum, dengan memberikan rasa nyeri (al-ilam) atau
dengan dikekang dan dibatasi (tadhyiq), sesuai dengan bentuk pelanggaran yang
dilakukan yang menjadi sarana untuk mendapatkan kelezatan atau memperoleh
kehasilan lewat cara yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat.
Hal tersebut menghendaki untuk diletakkannya
sanksi tertentu pada setiap tindakan yang menyalahi aturan syariat, dimana
sifat dari sanksi itu dapat membendung manusia dari melakukan pelanggaran dan
mendorong mereka untuk saling mengingatkan satu sama lain agar tidak berbuat
pelanggaran.
Tujuan ini hanya akan sempurna ketika sanksi
yang diterapkan bersifat idhrar (memberatkan dan tidak ada yang merasa
diuntungkan) dari seluruh sisi dan untuk semua kalangan manusia.
Jika sanksi semacam itu yang diterapkan, maka
akan muncul kesamaan persepsi seluruh manusia dalam memandang jarimah
(pelanggaran) dengan segala perbedaan kondisi dan strata sosial mereka,
sebagaimana keadaan dari jarimah itu sendiri yang memunculkan kemudharatan
untuk semua kalangan.
Prinsip dari
sanksi yang diterapkan dalam Islam yang bertujuan agar samanya persepsi
masyarakat terhadap kejahatan dan pelanggaran, dimana mereka saling
mengingatkan satu sama lain, tidak akan terwujud jika bentuk sanksi yang
diterapkan adalah pembayaran harta.
Malah
kemungkinan yang akan terjadi sebaliknya. Akan terjadi pembiaran demi
pembiaran, akan muncul pihak-pihak yang sengaja menunggu dan mengharapkan
adanya "Kari Kambing Gratis" dari hasil khalwat akibat aturan adat
yang salah kaprah.
Akan muncul
lembaga pendidikan yang ingin mengambil harta dari peserta didik untuk cepat
terbangun yayasan yang didirikannya, serta juga akan muncul orang-orang zalim
yang berlindung di balik kekuasaan dan jabatan dalam pemerintahan untuk
merampas harta-harta rakyat dengan cara yang tidak berhak.
Saat ini,
banyak sekali ditemukan penerapan sanksi dengan cara pengambilan harta terhadap
berbagai bentuk pelanggaran, baik sanksi itu ditetapkan oleh pemerintah,
masyarakat adat, dan termasuk lembaga pendidikan. Dimana banyak orang yang
beralasan bahwa penerapan sanksi dengan pegambilan harta perlu dilakukan untuk
tujuan kemaslahatan.
Padahal, kemaslahatan
yang sesungguhnya adalah kemaslahatan yang sudah terbingkai dalam aturan
syariat Islam. Kemaslahatan yang sudah tertampung di bawah payung hukum Islam
adalah kemaslahatan untuk semua, baik duniawi maupun ukhrawi.
Semoga postingan
ini, dapat membantu teman-teman dalam memahami bagaimana pandangan Islam tentang
penerapan sanksi finansial.
Wallahu a’lam bi al-Shawab...
Semoga bermanfaat...
Sumber:
Al-Fiqh al-Islamī wa Adillatuh
Muhadharat fi al-Fiqh al-Muqaran
FB Muhammad Iqbal Jalil
Posting Komentar