Idul Fitri adalah Media Mempererat Tali Silaturrahim
Idul Fitri adalah Media Mempererat Tali Silaturrahim
Hari raya idul fitri merupakan hari untuk mewujudkan
keindahan antar sesama manusia, sebagai penyempurna dari ibadah yang telah dilakukan
selama bulan Ramadhan. Hari raya idul fitri adalah moment untuk berdamai, merajut kembali persaudaraan yang terurai, mempererat kembali
persahabatan yang sudah mulai renggang dengan cara bersilaturrahim.
Menjalin silaturrahmi merupakan cara untuk memupuk dan menyuburkan cinta yang ada di dalam hati kita. Silaturrahmi kita suburkan dengan terus disiram dan dipupuk seperti layaknya sebuah tanaman. Disirami dengan saling kunjung mengunjung, saling mendoakan dan banyak lagi upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk menyuburkan silaturrahim, cinta dan tali persaudaraan.
Tetapi ingat, menumbuhkan tanaman tidak cukup dengan disiram dan dipupuk. Jika hanya
memperhatikan hal itu, tidak peduli dengan hama-hama yang akan menyerangnya, dan juga
penyakit-penyakit yang akan menghancurkannya, maka tanaman tersebut tidak akan
tumbuh.
Begitu pula
dengan silaturrahmi, jangan terlena disaat kita hanya menyuburkannya dengan
saling kunjung mengujung dan saling mendo’akan. Namun, kita juga
harus peduli dengan benalu-benalu yang menyerangnya dan juga penyakit-penyakit,
hama yang bisa menghancurkannya.
Di antara penyakit yang menyerang dan menghancurkannya adalah GHIBAH. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah. Nabi Muhammad SAW bertanya kepada para sahabat:
أتَدْرُونَ ما الغِيبَةُ؟
“Apakah kalian
tahu apa itu ghibah?”
قالوا: اللهُ ورَسُولُهُ أعْلَمُ
“Sahabat menjawab: Allah dan
Rasulnya lah yang lebih mengetahuinya.”
قالَ: ذِكْرُكَ أخاكَ بِما يَكْرَهُ
“Lalu Nabi mengatakan: Ghibah adalah
menceritakan saudaramu tentang sesuatu yang ia benci.”
قِيلَ: أفَرَأيْتَ إنْ كانَ في أخِي
ما أقُولُ؟
“Lalu salah seorang sahabat bertanya
kepada Nabi: Apakah termasuk ghibah apabila hal itu benar adanya?”
قالَ: إنْ كانَ فِيهِ ما تَقُولُ،
فقد اغْتَبْتَهُ، وإنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ ما تَقُولُ فَقَدْ بَهَتَّهُ.
“Nabi menjawab: “Jika seandainya
hal tersebut benar, maka engkau telah melakukan ghibah. Namun jika hal tersebut
tidak benar, maka engkau telah melakukan fitnah.”
Didalam kitab I’anah al-Thalibin, Syeikh Abu Bakar Syatha
menjelaskan:
الكذب: هو الإخبار بما يخالف الواقع.
والغيبة: هي ذكرك أخاك المسلم بما يكره، ولو بما فيه، ولو
بحضرته
“Dusta adalah menceritakan sesuatu yang tidak sesuai
dengan fakta yang ada. Sedangkan ghibah adalah menceritakan saudaramu tentang sesuatu yang ia benci, walaupun saat itu ia juga ikut mendengarnya,
dan hal itu benar adanya.”
Uraian ini dapat dipahami
bahwa dusta/fitnah dan ghibah merupakan dua hal yang sangat berbeda. Yang mana keduanya merupakan
perbuatan dosa.
Menggunjing atau ghibah sering dilakukan dengan tidak sadar. Menggunjing juga sering tidak dianggap dosa, karena mungkin tidak mengerti makna menggunjing.
Bahkan ada yang sadar ketika menggunjing, namun mungkin karna sudah terbiasa
dengan hal itu, mereka anggap menggunjing merupakan hal yang biasa-biasa saja.
Karenanya, menggunjing merupakan salah satu dosa yang
dilakukan terang-terangan. Hal itu bisa terjadi melalui media mulut, isyarat
dengan anggota badan, bahkan yang lebih bahayanya lagi, terjadi di berbagai media
sosial, seperti FB IG Twitter dan lain sebagainya, karena media sosial, tidak
hanya dapat disaksikan oleh orang yang hadir, namun juga bisa didengarkan dan
dibaca oleh khalayak ramai di berbagai tempat, yang semua itu akan diminta pertanggung
jawaban dihadapan Allah SWT.
Nabi Muhammad SAW juga memberikan ancaman melalui hadistnya:
عَنْ مُعاذِ
بْنِ جَبَلٍ قالَ: قالَ رَسُولُ اللَّهِ :مَن عَيَّرَ أخاهُ بِذَنْبٍ لَمْ
يَمُتْ حَتّى يَعْمَلَهُ
“Barangsiapa yang menceritakan satu dosa saudaranya, maka
ia tidak meninggal dunia, sehingga ia melakukan dosa yang sama.”
Di antara keistimewaan islam dalam menjaga aib dan harga
diri umatnya, di dalam kitab fikih, para ulama mengajarkan bahwa bagi seorang
hakim, yang apabila datang seseorang, memberi pengakuan bahwa dirinya telah
melakukan perbuatan keji, yakni zina, maka disunahkan bagi seorang hakim
tersebut untuk menanyakan kembali dan melakukan sindiran seolah-olah
pengakuannya itu salah, sehingga aibnya terjaga, tidak diberlakukan kishas
maupun cambuk dan orang tersebut bisa bertaubat, memperbaiki diri dan menebar
kebaikan di sisa-sisa hidupnya.
Sejatinya, silaturrahmi yang sangat penting adalah
silaturrahmi batin. Silaturrahmi zhahir hanya sekedar upaya dan sarana untuk
sampai kepada silaturrahmi batin. Karena, silaturrahmi yang sesungguhnya adalah
menghadirkan ma’na saling mencintai, mendekatkan hati dengan hati, yang saling
bermusuhan menjadi saling menyayangi, yang saling dendam menjadi saling
merelakan.
Kebanyakan dari kita, hanya mementingkan silaturrahmi
secara zhahir saja, tanpa menghiraukan silaturrahmi yang sesungguhnya, yaitu
silaturrahmi batin. Karena itu, betapa banyak
mereka yang bersilaturrahim secara zhahir dengan bertatap muka secara langsung,
namun di dalam hati mereka, tersimpan kesombongan, kedengkian dan lain
sebagainya.
Mudah-mudahan Allah SWT selalu memberikan kekuatan,
taufiq dan hidayahnya kepada kita, sehingga kita bisa untuk selalu menjaga
hati, anggota badan dari hal-hal yang dapat menghancurkan tali persaudaraan
antar sesama. Supaya silaturrahmi terus terjalin,
dengan saling mencintai, saling kunjung mengunjungi dan juga saling mendo’akan.
Dengan harapan
bersama bulan Ramadhan dan disambut dengan hari raya idul fitri, kita bisa
menjadi hamba yang sukses memperbaiki hubungan, baik dengan Allah maupun antar
sesama.
Wallahu A’lam bi al-Shawab...
Semoga bermanfaat...
Posting Komentar