Kaidah: I’malul Kalam Aula Min Ihmalih
Kaidah: I’malul Kalam Aula Min Ihmalih
Kaidah I’malul Kalam Aula Min Ihmalih merupakan
bagian dari kaidah Aghlabiyah. Kaidah ini juga mencakup beberapa permasalahan
yang tidak terbatas pada satu bab. Namun juga tidak menutup kemungkinan adanya
pengecualian.
Kali ini, penulis akan menjelaskan secara ringkas beberapa
hal yang berkaitan dengan kaidah ini, yakni kaidah I’malul Kalam Aula Min
Ihmalih (memberlakukan ucapan lebih diprioritaskan daripada medisfungsikannya).
Substansi Kaidah
Ucapan yang sering di sampaikan oleh seseorang seringkali
memunculkan beragam penafsiran (interpretasi). Tafsir yang beragam dapat terjadi
karena adanya tinjauan makna hakiki dan majazi.
Demikian pula dalam upaya implementasinya, ada peluang
terjadinya dua kemungkinan penafsiran, ada kalanya dapat diterapkan sesuai
dengan tuntunan maknanya dan ada kalanya dapat didisfungsikan tanpa arti sama
sekali, karena disebabkan beberapa faktor yang melatar belakanginya.
Pada umumnya manusia tidak menghendaki ucapannya menjadi sia-sia
tanpa ada fungsi yang berarti. Inilah yang melatar belakangi mengapa aplikasi
sebuah ucapan lebih baik daripada medisfungsikannya
Oleh karena itu, suatu ucapan sebisa mungkin dapat
diberlakukan secara aplikatif sesuai tujuan yang di kandungnya, baik melalui
makna denotatif maupun konotatif.
Artinya, suatu ucapan jika diarahkan pada salah satu
makna akan memiliki pengaruh terhadap hukum, akan tetapi bila diarahkan pada
makna yang lain, kemungkinan tidak memberi pengaruh pada hukum apapun.
Imam Taqiy al-Din al-Subki dan anaknya Taj al-Subki
mengatakan: “Posisi kaidah ini adalah bila memprioritaskan dan medisfungsikannya
itu sama dalam kaitannya dengan ucapan, tetapi jika jauh kemungkinannya untuk
diprioritaskan dan menjadi seperti teka-teki dalam hubungannya, maka medisfungsikannya
lebih diutamakan.”
Contoh Kaidah
Di antara beberapa furu’ dari kaidah ini adalah:
1. Jika seseorang
berwasiat dengan sebuah genderang dan ia mempunyai sebuah genderang untuk
hiburan dan sebuah genderang untuk perang, maka hal itu sah dan dihamalkan pada
sesuatu yang dibolehkan.
2. Jika seseorang
mengatakan kepada istrinya dan seekor keledai: “salah satu di antara kalian aku
ceraikan.” Maka istrinya tercerai.
3. Jika seseorang telah
mewakafkan sesuatu kepada anaknya, namun ia hanya memiliki cucu, tidak ada anak.
Maka wakaf tersebut diberikan kepada cucunya, karena tidak dapat diberlakukan ucapannya
secara hakikat dan untuk menjaga ucapannya agar tidak sia-sia.
Wallahu A’lam bi al-Shawab...
Semoga bermanfaat...
Sumber:
Idhah al-Qawaid
Formulasi Nalar Fiqh
Posting Komentar