Istiarah Ashliyah dan Tab’iyah
Istiarah Ashliyah dan Tab’iyah
Ashliyah dan tab’iyah juga merupakan pembagian ‘aridhi dari istiarah, sama
seperti murasysyahah, mujarradah dan muthlaqah, sebagaimana
yang telah penulis jelaskan sebelumnya.
Namun, pembagian istiarah kepada ashliyah dan tab’iyah
melihat dari sisi mustaar minh atau musyabah bih, apakah berbentuk isim
jenis atau tidak.
Hal ini tentu berbeda dengan murasysyahah, mujarradah
dan muthlaqah, yang merupakan pembagian istiarah dengan melihat dari
sisi disebutkan atau tidaknya mula`im.
Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana perbedaan dan
contoh istiarah ashliyah dan tab’iyah, mari simak penjelasan
berikut.
Ashliyah
Di dalam kitab Tuhfah al-Ikhwan disebutkan
bahwa:
إن كان المستعار اسم جنس أي إسما غير مشتق فالإستعارة أصلية
“Jika
seandainya mustaar merupakan isim jenis, yakni isim yang bukan musytaq, maka
digolongkan kepada istiarah ashliyah.”
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa ashliyah
adalah istiarah yang mana kata yang menjadi mustaar minh-nya merupakan isim
jenis, bukan musytaq.
Contoh
رَأَيْتُ أَسَدًا فِى الْحَمَّامِ
“Saya
telah melihat seekor singa di dalam kamar mandi.”
Kata asad merupakan kata yang berposisi sebagai
mustaar minh atau musyabah bih. Asad juga termasuk isim jenis, bukan
musytaq. Karena itu, contoh di atas digolongkan kepada istiarah ashliyah jika
dilihat kepada bentuk mustaar-nya.
Tab’iyah
Di dalam kitab Tuhfah al-Ikhwan juga
disebutkan:
وإلا فتبعية لجريانها فى الفعل و فى المشتق بعد جريانها فى مصدرها و فى الحرف
بعد جريانها فى متعلق معناها
“Jika
mustaar-nya tidak berbentuk isim jenis, maka digolongkan kepada istiarah
tab’iyah, karena berlakunya istiarah pada fiil dan musytaq setelah terjadinya
istiarah pada masdarnya dan berlakunya istiarah pada huruf setelah terjadinya
pada muta’allaq maknanya.”
Yang dimaksudkan dengan berlaku istiarah pada fiil dan
huruf setelah berlakunya pada masdar (misalnya) adalah bahwa hakikat terjadinya
istiarah itu pada masdar, bukan pada fiil atau pun musytaq. Begitu juga
dengan huruf, hakikat terjadinya istiarah itu pada muta’allaq makna,
bukan pada huruf.
Istiarah pada fiil, musytaq atau huruf, hanya mengikuti
setelah terjadinya istiarah pada masdar atau muta’allaq makna. Karena ini lah
dinamakan dengan tab’iyah, yang dapat diartikan dengan mengikuti.
Adapun yang dimaksudkan dengan muta’allaq makna huruf
adalah maknanya yang kulli, seperti ibtida` pada min (من)
atau intiha` pada ila (إلى).
Contoh
نَطَقَتِ الْحَالُ
“Keadaan
telah berindikasi.”
Kata yang terjadi majaz dari kalimat di atas adalah nathaqat,
yang mana makna hakikatnya adalah berbicara. Nathaqat (berbicara) dan dallat
(indikasi) merupakan kata fiil, yang mana ia hanya mengikuti istiarah yang
terjadi pada masdarnya, yaitu dalalah (الدلالة) dan nuthq (النطق).
Awalnya, diserupakan dalalah dengan nuthq yang
memiliki titik kesamaan pada menjelaskan makna. Lalu dipinjamkan kata nuthq
pada dalalah. Peminjaman ini lah yang diikuti oleh fiil-nya, yakni dallat
dan nathaqat.
Sehingga penggunaan kata nathaqat pada dallat
digolongkan kepada istiarah tab’iyah karena peminjamannya mengikuti peminjamam
yang terdapat pada masdar.
Wallahu A’lam bi al-Shawab...
Semoga bermanfaat...
Sumber: Tuhfah al-Ikhwan dan Syarahnya
Posting Komentar