Kaidah Tasharruf al-Imam ala al-Ra’iyyah
Kaidah Tasharruf al-Imam ala al-Ra’iyyah
Kaidah Tasharruf al-Imam ‘ala al-Ra’iyyah
Manuth bi al-Mashlahah juga merupakan
bagian dari kaidah Aghlabiyah. Kaidah ini juga mencakup beberapa permasalahan
yang tidak terbatas pada satu bab. Namun juga tidak menutup kemungkinan adanya
pengecualian.
Kali ini, penulis akan menjelaskan secara
ringkas beberapa hal yang berkaitan dengan kaidah ini, yakni kaidah Tasharruf
al-Imam ‘ala al-Ra’iyyah Manuth bi al-Mashlahah (kebijakan seorang pemimpin
kepada rakyat harus berdasarkan kemaslahatan).
Substansi Kaidah
Para pemimpin, abdi negara, pegawai sipil atau
militer, hakim atau qadhi, tokoh masyarakat dan lain sebagainya, hakikatnya
hanyalah merupakan representasi suara rakyat yang mereka pimpin.
Para pemimpin harus mengabdikan dan
mendedikasikan kepemimpinannya untuk kemaslahatan rakyat. Nabi Muhammad SAW
bersabda:
سَيِّدُ الْقَوْمِ خَادِمُهُمْ
“Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.”
Dengan demikian, pemimpin dan seluruh
jajarannya dalam mengambil kebijakan harus berdasarkan pertimbangan
kemaslahatan.
Kewajiban ini dapat diaplikasikan dengan
menggunakan prinsip dasar fikih, yaitu mendahulukan upaya pencegahan yang
merusak daripada mencari kemaslahatan (Dar` al-Mafasid Muqaddam ‘ala Jalb
al-Mashalih).
Di samping itu, pijakan seorang pemimpin dalam
mengambil keputusan adalah memberi perhatian lebih besar pada kemaslahatan yang
bersifat umum (universal) daripada kemaslahatan individual dan golongan.
Dasar Kaidah
Allah SWT berfirman:
وَلَاتَقْرَبُوْا مَالَ الْيَتِيْمِ إِلَّا
بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ
“Janganlah kalian mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara
yang paling baik.”
Secara ekplisit, teks di atas memang hanya
berbicara tentang pengelolaan harta anak yatim. Namun secara implisit, pesan
universal yang dikandungnya menunjukkan bahwa seorang pemimpin memiliki posisi
seperti wali yatim, di mana ia bertanggung jawab penuh terhadap harta dan
kemaslahatan si yatim.
Maka seorang pemimpin harus mewujudkan
stabilitas publik dan stabilitas ukhrawi dalam kesadaran batinnya, sehingga
manipulasi kekuasaan tidak pernah dan tidak akan ia lakukan.
Imam Syafi’i juga mengatakan:
مَنْزِلَةُ الْإِمَامِ مِنَ الرَّعِيَّةِ
مَنْزِلَةُ الْوَلِي مِنَ الْيَتِيْمِ
“Kedudukan seorang pemimpin terhadap rakyat sama seperti
kedudukan seorang wali yatim.”
Imam Suyuthi mengatakan bahwa dasar kaidah ini
adalah perkataan saidina Umar ra.
إنّي نزّلتُ نفسي من مال الله بمنزلة والي
اليتيم إن احتجت منه فإذا أيسرتُ رددته فإن استغنيت استعففت
“Sesungguhnya aku memposisikan diriku dalam mengelola harta
Allah SWT sebagaimana wali yatim. Apabila aku sangat membutuhkan, aku akan
menggunakannya sekedar kebutuhan. Jika aku sudah memperolah kecukupan, aku akan
mengembalikannya dan bila tidak membutuhkan, aku tidak akan mengambilnya.”
Contoh Kaidah
Di antara beberapa furu’ dari kaidah ini
adalah:
1. Seorang
pemimpin tidak dibolehkan melantik orang yang fasiq untuk bertindak sebagai
imam shalat bagi masyarakat, sekalipun dianggap sah shalat orang yang di
belakangnya
2. Dalam mengambil
kebijakan bagi tawanan antara dibunuh, mardeka, tebusan dan lain-lain. Seorang
pemimpin tidak boleh mengikuti keinginannya semata kecuali dengan pertimbangan
kemaslahatan.
Wallahu A’lam bi al-Shawab...
Semoga bermanfaat...
Sumber:
Idhah al-Qawaid
Formulasi Nalar Fiqh
Posting Komentar