Jadilah orang pertama yang menerima update artikel terbaru dari kami!!!

Kaidah Tasharruf al-Imam ala al-Ra’iyyah

Daftar Isi

Kaidah Tasharruf al-Imam ala al-Ra’iyyah

Kaidah Tasharruf al-Imam ‘ala al-Ra’iyyah Manuth bi al-Mashlahah  juga merupakan bagian dari kaidah Aghlabiyah. Kaidah ini juga mencakup beberapa permasalahan yang tidak terbatas pada satu bab. Namun juga tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian.

Kali ini, penulis akan menjelaskan secara ringkas beberapa hal yang berkaitan dengan kaidah ini, yakni kaidah Tasharruf al-Imam ‘ala al-Ra’iyyah Manuth bi al-Mashlahah (kebijakan seorang pemimpin kepada rakyat harus berdasarkan kemaslahatan).

Substansi Kaidah

Para pemimpin, abdi negara, pegawai sipil atau militer, hakim atau qadhi, tokoh masyarakat dan lain sebagainya, hakikatnya hanyalah merupakan representasi suara rakyat yang mereka pimpin.

Para pemimpin harus mengabdikan dan mendedikasikan kepemimpinannya untuk kemaslahatan rakyat. Nabi Muhammad SAW bersabda:

سَيِّدُ الْقَوْمِ خَادِمُهُمْ

“Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.”

Dengan demikian, pemimpin dan seluruh jajarannya dalam mengambil kebijakan harus berdasarkan pertimbangan kemaslahatan.

Kewajiban ini dapat diaplikasikan dengan menggunakan prinsip dasar fikih, yaitu mendahulukan upaya pencegahan yang merusak daripada mencari kemaslahatan (Dar` al-Mafasid Muqaddam ‘ala Jalb al-Mashalih).

Di samping itu, pijakan seorang pemimpin dalam mengambil keputusan adalah memberi perhatian lebih besar pada kemaslahatan yang bersifat umum (universal) daripada kemaslahatan individual dan golongan.

Dasar Kaidah

Allah SWT berfirman:

وَلَاتَقْرَبُوْا مَالَ الْيَتِيْمِ إِلَّا بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ

“Janganlah kalian mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang paling baik.”

Secara ekplisit, teks di atas memang hanya berbicara tentang pengelolaan harta anak yatim. Namun secara implisit, pesan universal yang dikandungnya menunjukkan bahwa seorang pemimpin memiliki posisi seperti wali yatim, di mana ia bertanggung jawab penuh terhadap harta dan kemaslahatan si yatim.

Maka seorang pemimpin harus mewujudkan stabilitas publik dan stabilitas ukhrawi dalam kesadaran batinnya, sehingga manipulasi kekuasaan tidak pernah dan tidak akan ia lakukan.

Imam Syafi’i juga mengatakan:

مَنْزِلَةُ الْإِمَامِ مِنَ الرَّعِيَّةِ مَنْزِلَةُ الْوَلِي مِنَ الْيَتِيْمِ

“Kedudukan seorang pemimpin terhadap rakyat sama seperti kedudukan seorang wali yatim.”

Imam Suyuthi mengatakan bahwa dasar kaidah ini adalah perkataan saidina Umar ra.

إنّي نزّلتُ نفسي من مال الله بمنزلة والي اليتيم إن احتجت منه فإذا أيسرتُ رددته فإن استغنيت استعففت

“Sesungguhnya aku memposisikan diriku dalam mengelola harta Allah SWT sebagaimana wali yatim. Apabila aku sangat membutuhkan, aku akan menggunakannya sekedar kebutuhan. Jika aku sudah memperolah kecukupan, aku akan mengembalikannya dan bila tidak membutuhkan, aku tidak akan mengambilnya.”

Contoh Kaidah

Di antara beberapa furu’ dari kaidah ini adalah:

1. Seorang pemimpin tidak dibolehkan melantik orang yang fasiq untuk bertindak sebagai imam shalat bagi masyarakat, sekalipun dianggap sah shalat orang yang di belakangnya

2. Dalam mengambil kebijakan bagi tawanan antara dibunuh, mardeka, tebusan dan lain-lain. Seorang pemimpin tidak boleh mengikuti keinginannya semata kecuali dengan pertimbangan kemaslahatan.

 

Wallahu A’lam bi al-Shawab...

Semoga bermanfaat...

 

Sumber:

Idhah al-Qawaid

Formulasi Nalar Fiqh

 


Posting Komentar