Kaidah Idza Ijtama’a al-halal wa al-Haram
Kaidah Idza Ijtama’a al-halal wa al-Haram
Kaidah idza Ijtama’a al-halal wa al-Haram Ghullib
al-Haram juga merupakan bagian dari
kaidah Aghlabiyah. Kaidah ini juga mencakup beberapa permasalahan yang tidak
terbatas pada satu bab. Namun juga tidak menutup kemungkinan adanya
pengecualian.
Kali ini, penulis akan menjelaskan secara ringkas beberapa
hal yang berkaitan dengan kaidah ini, yakni kaidah idza Ijtama’a al-halal wa
al-Haram Ghullib al-Haram (apabila berhimpun halal dan haram maka
diunggulkan yang haram).
Substansi Kaidah
Salah satu upaya agama Islam dalam menjaga penganutnya
adalah dengan memberikan rambu-rambu yang dapat dijadikan pijakan dalam
beragama agar terhindar dari beberapa unsur keharaman. salah satunya terdapat
dari substansi kaidah ini.
Adapun substansi dari kaidah ini adalah jika terdapat
unsur hukum haram dan halal pada sebuah objek persolaan hukum, maka hukum haram
diunggulkan.
Dasar Kaidah
Landasan dari kaidah ini adalah hadis Nabi Muhammad SAW:
مَا اجْتَمَعَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ إِلَّا غَلَبَ الْحَرَامُ الْحَلَالَ
“Tidak
berkumpul perkara halal dan haram kecuali yang haram diunggulkan dari yang
halal.”
Nabi Muhammad SAW dengan tegas menyebutkan melalui
sabdanya ini bahwa unsur haram lebih dominan saat terjadi percampuran. Hukum
haram selalu menjadi unsur yang lebih diunggulkan daripada yang halal.
bila ditinjau dari alur riwayat, terdapat kontroversi
tentang apakah sanadnya dapat dipertanggung jawabkan atau tidak. Namun walaupun
demikian, pada tataran substantif, imam al-Subki mengatakan bahwa hadis ini
dapat dipertanggung jawabkan walaupun lemah dari segi alur riwayat.
Imam Haramain juga mengatakan: sedikit sekali persoalan
hukum yang tidak dicakupi oleh substansi dari hadis ini. oleh karena demikian,
hadis ini layak dijadikan dasar dalam membangun kaidah ini.
Contoh Kaidah
Di antara beberapa furu’ dari kaidah ini adalah:
1. Ijtihad
seseorang tentang arah kiblat. Bila ijtihadnya berubah, maka ia harus berpegang
pada ijtihad baru dan shalat yang telah dilakukan dengan ijtihad lama dianggap
sah, yakni tidak diperintahkan qadha. Walaupun perubahan tersebut terjadi dalam
satu shalat.
Sehingga bila
seseorang shalat 4 rakaat dengan 4 arah kiblat yang berbeda dari hasil ijtihad,
maka shalatnya dianggap sah dan tidak diperintahkan qadha.
2. Ijtihad dalam
memilih kesucian air dari dua bejana yang diyakini salah satunya terkena najis.
Bila ijtihadnya berubah, maka ijtihad sebelumnya tetap berlaku.
Maka ia tidak
boleh menggunakan air dari kedua bejana tersebut, namun ia harus bertayamum.
3. Keputusan hukum
dari seorang hakim. Bila suatu ketika ijtihadnya berubah, maka hukum sebelumnya
tetap berlaku sekalipun ijtihad baru itu lebih kuat. Hanya saja kejadian yang
baru mesti diputuskan dengan ijtihad baru.
Pengecualian Kaidah
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa setiap kaidah
Aghlabiyah terdapat beberapa persoalan hukum yang dikecualikan.
Adapun persoalan hukum yang dikecualikan dari kaidah ini
di antaranya adalah:
1. Percampuran
pada jenazah orang islam dan orang kafir, yang wajib memandikan seluruhnya,
begitu juga dengan menshalatkannya. Padahal menshalatkan orang kafir, hukumnya
haram. Hal ini juga berlaku bila terjadi percampuran jenazah islam yang mati
syahid dengan yang tidak.
2. Diharamkan bagi
perempuan untuk menutupi sebagian dari wajahnya saat ihram. Namun tetap
diwajibkan menutupinya saat sambahyang.
3. Perempuan
diwajibkan hijrah dari negeri kafir. Walapun hukum musafir sendirian (tanpa
mahram) bagi perempuan diharamkan.
Wallahu A’lam bi al-Shawab...
Semoga bermanfaat...
Posting Komentar