Jadilah orang pertama yang menerima update artikel terbaru dari kami!!!

Kaidah Idza Ijtama’a al-halal wa al-Haram

Daftar Isi

Kaidah Idza Ijtama’a al-halal wa al-Haram

Kaidah idza Ijtama’a al-halal wa al-Haram Ghullib al-Haram juga merupakan bagian dari kaidah Aghlabiyah. Kaidah ini juga mencakup beberapa permasalahan yang tidak terbatas pada satu bab. Namun juga tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian.

Kali ini, penulis akan menjelaskan secara ringkas beberapa hal yang berkaitan dengan kaidah ini, yakni kaidah idza Ijtama’a al-halal wa al-Haram Ghullib al-Haram (apabila berhimpun halal dan haram maka diunggulkan yang haram).

Substansi Kaidah

Salah satu upaya agama Islam dalam menjaga penganutnya adalah dengan memberikan rambu-rambu yang dapat dijadikan pijakan dalam beragama agar terhindar dari beberapa unsur keharaman. salah satunya terdapat dari substansi kaidah ini.

Adapun substansi dari kaidah ini adalah jika terdapat unsur hukum haram dan halal pada sebuah objek persolaan hukum, maka hukum haram diunggulkan.

Dasar Kaidah

Landasan dari kaidah ini adalah hadis Nabi Muhammad SAW:

مَا اجْتَمَعَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ إِلَّا غَلَبَ الْحَرَامُ الْحَلَالَ

“Tidak berkumpul perkara halal dan haram kecuali yang haram diunggulkan dari yang halal.”

Nabi Muhammad SAW dengan tegas menyebutkan melalui sabdanya ini bahwa unsur haram lebih dominan saat terjadi percampuran. Hukum haram selalu menjadi unsur yang lebih diunggulkan daripada yang halal.

bila ditinjau dari alur riwayat, terdapat kontroversi tentang apakah sanadnya dapat dipertanggung jawabkan atau tidak. Namun walaupun demikian, pada tataran substantif, imam al-Subki mengatakan bahwa hadis ini dapat dipertanggung jawabkan walaupun lemah dari segi alur riwayat.

Imam Haramain juga mengatakan: sedikit sekali persoalan hukum yang tidak dicakupi oleh substansi dari hadis ini. oleh karena demikian, hadis ini layak dijadikan dasar dalam membangun kaidah ini.

Contoh Kaidah

Di antara beberapa furu’ dari kaidah ini adalah:

1. Ijtihad seseorang tentang arah kiblat. Bila ijtihadnya berubah, maka ia harus berpegang pada ijtihad baru dan shalat yang telah dilakukan dengan ijtihad lama dianggap sah, yakni tidak diperintahkan qadha. Walaupun perubahan tersebut terjadi dalam satu shalat.

Sehingga bila seseorang shalat 4 rakaat dengan 4 arah kiblat yang berbeda dari hasil ijtihad, maka shalatnya dianggap sah dan tidak diperintahkan qadha.

2. Ijtihad dalam memilih kesucian air dari dua bejana yang diyakini salah satunya terkena najis. Bila ijtihadnya berubah, maka ijtihad sebelumnya tetap berlaku.

Maka ia tidak boleh menggunakan air dari kedua bejana tersebut, namun ia harus bertayamum.

3. Keputusan hukum dari seorang hakim. Bila suatu ketika ijtihadnya berubah, maka hukum sebelumnya tetap berlaku sekalipun ijtihad baru itu lebih kuat. Hanya saja kejadian yang baru mesti diputuskan dengan ijtihad baru.

Pengecualian Kaidah

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa setiap kaidah Aghlabiyah terdapat beberapa persoalan hukum yang dikecualikan.

Adapun persoalan hukum yang dikecualikan dari kaidah ini di antaranya adalah:

1. Percampuran pada jenazah orang islam dan orang kafir, yang wajib memandikan seluruhnya, begitu juga dengan menshalatkannya. Padahal menshalatkan orang kafir, hukumnya haram. Hal ini juga berlaku bila terjadi percampuran jenazah islam yang mati syahid dengan yang tidak.

2. Diharamkan bagi perempuan untuk menutupi sebagian dari wajahnya saat ihram. Namun tetap diwajibkan menutupinya saat sambahyang.

3. Perempuan diwajibkan hijrah dari negeri kafir. Walapun hukum musafir sendirian (tanpa mahram) bagi perempuan diharamkan.

Wallahu A’lam bi al-Shawab...

Semoga bermanfaat...

 

Sumber: Idhah al-Qawaid

 


Posting Komentar