Kaidah: al-Tabi’ Tabi’
![]() |
Kaidah: al-Tabi’ Tabi’ |
Kali ini, penulis akan menjelaskan kaidah
pertama dari kaidah Aghlabiyah, yakni kaidah Al-Ijtihad La Yunqadhu bi
al-Ijtihad (ijtihad tidak bisa dianulir dengan sebab ijtihad yang lain).
Substansi Kaidah
Substansi atau makna dari kaidah ini adalah sesuatu
yang berstatus pengikut bagi yang lain, hukum pengikut mesti sama sebagaimana
hukum bagi yang diikutinya.
Seperti dalam hal penjualan binatang yang
hamil. Dalam pandangan hukum, janin yang terdapat dalam perut binatang akan
mengikuti penjualan induknya, karena janin berstatus sebagai pengikut.
Kaidah Cabang berserta Contohnya
Kaidah ini juga memiliki berbagai varian yang
substansinya sama dengan ungkapan yang berbeda. Di antaranya adalah:
· التَّابِعُ لَايُفْرَدُ
بِالْحُكْمِ
“Tabi’ tidak dapat berdiri sendiri secara hukum.”
Contohnya seperti ulat yang terdapat pada
buah-buahan. Maka dibolehkan memakannya karena mengikuti hukum buah-buahan.
· التَّابِعُ
يَسْقُطُ بِسُقُوْطِ الْمَتْبُوْعِ
“Tabi’ dapat digugurkan dengan sebab gugur
matbu’.”
Contohnya seperti orang gila yang tidak wajib
mengqadha shalat lima waktu. Maka juga tidak disunatkan baginya untuk mengqadha
shalat sunat rawatib.
Kaidah ini juga memiliki kaidah sub-cabang
lainnya, yang terlihat berbeda namun secara substansialnya sama. Di antaranya
adalah:
الْفَرْعُ يَسْقُطُ إِذَا سَقَطَ الْأَصْلُ
“Cabang dapat digugurkan dengan sebab gugurnya
asal (pokok).”
Contohnya seperti seseorang yang bersedia akan
membayar hutang ornag lain. Kemudian hutang tersebut telah dibayar, maka
terlepaslah hutang dan kewajiban orang yang bersedia membayarnya pun terlepas.
Di antara kaidah cabang lainnya adalah:
· التَّابِعُ
لَايَتَقَدَّمُ عَلَى الْمَتْبُوْعِ
“Tabi’ tidak dibolehkan mendahului matbu’.”
Contohnya seperti seorang makmum yang
mengikuti imam. Ia tidak dibolehkan mendahului imam, baik dari sisi tempat
maupun dalam pergerakan shalat.
Demikian pula dengan makmum yang tidak dapat
melihat pergerakan Imam secara langsung, hanya melalui orang lain (rabith),
maka ia tidak dibolehkan mendahului sang rabith, karena ia merupakan tabi’ bagi
sang rabith. Sedangkan sang rabith adalah matbu’.
Namun hal ini berbeda pada kasus shalat jumat.
Bila seseorang yang tidak dapat menggenapkan bilangan jumat (40 orang), seperti
musafir misalnya. Menurut muhaqqiqin, dibolehkan bagi mereka untuk
mendahului takbiratul ihram daripada jamaah lainnya (yang dapat
menggenapkan bilangan jumat). Padahal mereka hanya berstatus tabi’ bagi yang
lainnya.
· يُغْتَفَرُ فِى التَّوَابِعِ
مَالَايُغْتَفَرُ فِى غَيْرِهَا
“Sesuatu yang ditolerir pada tabi’, tidak berlaku pada selainnya
(matbu’).”
Contohnya seperti harim mesjid yang tidak
berlaku hukum mesjid pada keharaman menetap bagi orang yang berjunub.
Kaidah ini juga memiliki kaidah sub-cabang
lainnya, yang terlihat berbeda namun secara substansialnya sama. Di antaranya
adalah:
يُغْتَفَرُ فِى الشَّيْئِ ضِمْنًا
مَالَايُغْتَفَرُ فِيْهِ قَصْدًا
“Sesuatu yang dapat ditolerir bila terjadi secara implikatif,
tidak berlaku bila terjadi secara kesengajaan.”
Contohnya seperti mewakafkan harta untuk
dirinya sendiri yang tidak dianggap sah. Jika ia mewakafkannya untuk orang
miskin, kemudian ia jatuh miskin, maka ia juga berhak mendapatkan harta wakaf
tersebut.
Sub kaidah lainnya adalah:
يُغْتَفَرُ فِى الدَّوَامِ مَالَايُغْتَفَرُ فِى
الْإِبْتِدَاءِ
“Sesuatu yang dapat ditolerir pada tahap lanjutan, tidak dapat
ditolerir pada tahap permulaan.”
Contohnya seperti tidak boleh melakukan akad
pernikahan bagi orang yang sedang ihram. Namun boleh untuk melakukan ruju’.
Pengecualian Kaidah
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa
setiap kaidah Aghlabiyah terdapat beberapa persoalan hukum yang dikecualikan.
Sebelumnya, penulis juga telah menjelaskan sedikit pengecualian dari sub-kaidahnya.
Adapun persoalan hukum lainnya yang
dikecualikan dari kaidah dan sub-kaidah ini di antaranya adalah:
1. Membasuh yang
disunatkan pada tangan atau kaki yang melebihi basuhan wajib. Maka dibolehkan
mendahuluinya dari tempat basuhan yang wajib.
Demikian juga apabila terpotong tempat basuhan
yang wajib, maka tetap disunatkan membasuh tempat basuhan yang disunatkan.
2. Membasuh yang
disunatkan pada bagian kepala yang mengelilingi muka. Maka dibolehkan
mendahuluinya daripada membasuh muka.
Demikian juga apabila mukanya terluka yang
tidak dapat dibasuh dengan air, maka tetap disunatkan membasuh bagian kepala
yang mengelilinginya.
Pengecualian ini berpijak pada kaidah:
إِنَّ مَاقَرَبَ الشَّيْئَ يُعْطِيْ حُكْمُهُ
“Sesungguhnya perkara yang mendekati sesuatu yang lain, maka
akan memperoleh hukum yang sama.”
Wallahu A’lam bi al-Shawab...
Semoga bermanfaat.....
Posting Komentar