Jadilah orang pertama yang menerima update artikel terbaru dari kami!!!

Kaidah: al-Tabi’ Tabi’

Daftar Isi
Kaidah: al-Tabi’ Tabi’
Kaidah Al-Ijtihad La Yunqadhu bi al-Ijtihad merupakan bagian dari kaidah Aghlabiyah. Kaidah ini juga merupakan kaidah kulliyah yang mencakup beberapa permasalahan yang tidak terbatas pada satu bab. Namun tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian.

Kali ini, penulis akan menjelaskan kaidah pertama dari kaidah Aghlabiyah, yakni kaidah Al-Ijtihad La Yunqadhu bi al-Ijtihad (ijtihad tidak bisa dianulir dengan sebab ijtihad yang lain).

Substansi Kaidah

Substansi atau makna dari kaidah ini adalah sesuatu yang berstatus pengikut bagi yang lain, hukum pengikut mesti sama sebagaimana hukum bagi yang diikutinya.

Seperti dalam hal penjualan binatang yang hamil. Dalam pandangan hukum, janin yang terdapat dalam perut binatang akan mengikuti penjualan induknya, karena janin berstatus sebagai pengikut.

Kaidah Cabang berserta Contohnya

Kaidah ini juga memiliki berbagai varian yang substansinya sama dengan ungkapan yang berbeda. Di antaranya adalah:

·  التَّابِعُ لَايُفْرَدُ بِالْحُكْمِ

“Tabi’ tidak dapat berdiri sendiri secara hukum.”

Contohnya seperti ulat yang terdapat pada buah-buahan. Maka dibolehkan memakannya karena mengikuti hukum buah-buahan.

·  التَّابِعُ يَسْقُطُ بِسُقُوْطِ الْمَتْبُوْعِ

“Tabi’ dapat digugurkan dengan sebab gugur matbu’.”

Contohnya seperti orang gila yang tidak wajib mengqadha shalat lima waktu. Maka juga tidak disunatkan baginya untuk mengqadha shalat sunat rawatib.

Kaidah ini juga memiliki kaidah sub-cabang lainnya, yang terlihat berbeda namun secara substansialnya sama. Di antaranya adalah:

الْفَرْعُ يَسْقُطُ إِذَا سَقَطَ الْأَصْلُ

“Cabang dapat digugurkan dengan sebab gugurnya asal (pokok).”

Contohnya seperti seseorang yang bersedia akan membayar hutang ornag lain. Kemudian hutang tersebut telah dibayar, maka terlepaslah hutang dan kewajiban orang yang bersedia membayarnya pun terlepas.

Di antara kaidah cabang lainnya adalah:

·  التَّابِعُ لَايَتَقَدَّمُ عَلَى الْمَتْبُوْعِ

“Tabi’ tidak dibolehkan mendahului matbu’.”

Contohnya seperti seorang makmum yang mengikuti imam. Ia tidak dibolehkan mendahului imam, baik dari sisi tempat maupun dalam pergerakan shalat.

Demikian pula dengan makmum yang tidak dapat melihat pergerakan Imam secara langsung, hanya melalui orang lain (rabith), maka ia tidak dibolehkan mendahului sang rabith, karena ia merupakan tabi’ bagi sang rabith. Sedangkan sang rabith adalah matbu’.

Namun hal ini berbeda pada kasus shalat jumat. Bila seseorang yang tidak dapat menggenapkan bilangan jumat (40 orang), seperti musafir misalnya. Menurut muhaqqiqin, dibolehkan bagi mereka untuk mendahului takbiratul ihram daripada jamaah lainnya (yang dapat menggenapkan bilangan jumat). Padahal mereka hanya berstatus tabi’ bagi yang lainnya.

·  يُغْتَفَرُ فِى التَّوَابِعِ مَالَايُغْتَفَرُ فِى غَيْرِهَا

“Sesuatu yang ditolerir pada tabi’, tidak berlaku pada selainnya (matbu’).”

Contohnya seperti harim mesjid yang tidak berlaku hukum mesjid pada keharaman menetap bagi orang yang berjunub.

Kaidah ini juga memiliki kaidah sub-cabang lainnya, yang terlihat berbeda namun secara substansialnya sama. Di antaranya adalah:

يُغْتَفَرُ فِى الشَّيْئِ ضِمْنًا مَالَايُغْتَفَرُ فِيْهِ قَصْدًا

“Sesuatu yang dapat ditolerir bila terjadi secara implikatif, tidak berlaku bila terjadi secara kesengajaan.”

Contohnya seperti mewakafkan harta untuk dirinya sendiri yang tidak dianggap sah. Jika ia mewakafkannya untuk orang miskin, kemudian ia jatuh miskin, maka ia juga berhak mendapatkan harta wakaf tersebut.

Sub kaidah lainnya adalah:

يُغْتَفَرُ فِى الدَّوَامِ مَالَايُغْتَفَرُ فِى الْإِبْتِدَاءِ

“Sesuatu yang dapat ditolerir pada tahap lanjutan, tidak dapat ditolerir pada tahap permulaan.”

Contohnya seperti tidak boleh melakukan akad pernikahan bagi orang yang sedang ihram. Namun boleh untuk melakukan ruju’.

Pengecualian Kaidah

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa setiap kaidah Aghlabiyah terdapat beberapa persoalan hukum yang dikecualikan. Sebelumnya, penulis juga telah menjelaskan sedikit pengecualian dari sub-kaidahnya.

Adapun persoalan hukum lainnya yang dikecualikan dari kaidah dan sub-kaidah ini di antaranya adalah:

1. Membasuh yang disunatkan pada tangan atau kaki yang melebihi basuhan wajib. Maka dibolehkan mendahuluinya dari tempat basuhan yang wajib.

Demikian juga apabila terpotong tempat basuhan yang wajib, maka tetap disunatkan membasuh tempat basuhan yang disunatkan.

2. Membasuh yang disunatkan pada bagian kepala yang mengelilingi muka. Maka dibolehkan mendahuluinya daripada membasuh muka.

Demikian juga apabila mukanya terluka yang tidak dapat dibasuh dengan air, maka tetap disunatkan membasuh bagian kepala yang mengelilinginya.

Pengecualian ini berpijak pada kaidah:

إِنَّ مَاقَرَبَ الشَّيْئَ يُعْطِيْ حُكْمُهُ

“Sesungguhnya perkara yang mendekati sesuatu yang lain, maka akan memperoleh hukum yang sama.”

 

Wallahu A’lam bi al-Shawab...

Semoga bermanfaat.....

 

Sumber: Idhah al-Qawaid

 


Posting Komentar