Jadilah orang pertama yang menerima update artikel terbaru dari kami!!!

Al-Ijtihad la Yunqadhu bi al-Ijtihad (Kaidah)

Daftar Isi

Al-Ijtihad la Yunqadhu bi al-Ijtihad (Kaidah)

Kaidah Al-Ijtihad La Yunqadhu bi al-Ijtihad merupakan bagian dari kaidah Aghlabiyah. Kaidah ini juga merupakan kaidah kulliyah yang mencakup beberapa permasalahan yang tidak terbatas pada satu bab. Namun tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian.

Oleh sebab itu, kaidah ini dinamakan kaidah Kulliyah Aghlabiyah (universal representatif). Berbeda dengan kaidah Kulliyah Kubra yang bersifat universal komprehensif.

Kali ini, penulis akan menjelaskan kaidah pertama dari kaidah Aghlabiyah, yakni kaidah Al-Ijtihad La Yunqadhu bi al-Ijtihad (ijtihad tidak bisa dianulir dengan sebab ijtihad yang lain).

Pengertian Ijtihad

Secara etimologi, ijtihad merupakan bentuk kata benda dari kata ijtahada-yajtahidu yang dapat diartikan dengan pengerahan segala kemampuan dalam meraih maksud tertentu.

Sedangkan secara terminologi, ijtihad adalah upaya seorang mujtahid dalam mengerahkan segala kemampuan untuk menghasilkan hukum dengan menganalisa berbagai dalil.

Upaya ijtihad yang dilakukannya, bila sesuai dengan ketetapan hukum Allah SWT, maka ijtihadnya benar dan mereka akan mendapatkan dua pahala, yakni pahala ijtihad dan kebenaran dalam berijtihad. Akan tetapi bila tidak sesuai, maka ijtihadnya tidak benar, namun mereka tetap mendapatkan pahala, yakni pahala ijtihad.

Hal ini hanya berlaku bagi mereka yang memiliki kapasitas dalam berijtihad, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam disiplin ilmu Ushul Fiqh.

Substansi Kaidah

Adapun substansi dari kaidah ini adalah hasil dari ijtihad lama yang telah memenuhi beberapa syarat, tidak gugur hukumnya disebabkan hasil ijtihad baru.

Dalam artian, sesuatu yang telah dilakukan dengan berpegang pada hasil ijtihad lama tidak perlu diulangi dengan sebab hasil ijtihad baru yang berbeda dengan ijtihad lama. Hanya saja hasil ijtihad lama tidak boleh diamalkan setelah adanya hasil ijtihad baru.

Dalil Kaidah

Dalil kaidah ini adalah ijma’ para shahabat. Yang mana pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab ra. Beliau banyak mefatwakan hukum yang tidak sesuai dengan keputusan yang pernah difatwakan khalifah sebelumnya, yakni Abu Bakar al-Shiddiq ra.

Akan tetapi, Khalifah Umar. tidak menganulir hukum yang telah ditetapkan Khalifah Abu Bakar sebelumnya. Bahkan, beliau sendiri juga pernah merubah keputusannya sendiri pada tahun pertama dengan keputusan baru pada tahun berikutnya.

Saat diminta penjelasan tentang sikapnya ini, Khalifah Umar menjawab:

تلك على ما قضينا وهذه على ما تقضى

“Ketentuan hukum yang pernah aku cetuskan itu adalah keputusanku. Sedangkan ini (ketentuan hukum yang baru) adalah hal yang sekarang aku putuskan.”

Furu’ Kaidah

Di antara beberapa furu’ dari kaidah ini adalah:

1. Ijtihad seseorang tentang arah kiblat. Bila ijtihadnya berubah, maka ia harus berpegang pada ijtihad baru dan shalat yang telah dilakukan dengan ijtihad lama dianggap sah, yakni tidak diperintahkan qadha. Walaupun perubahan tersebut terjadi dalam satu shalat.

Sehingga bila seseorang shalat 4 rakaat dengan 4 arah kiblat yang berbeda dari hasil ijtihad, maka shalatnya dianggap sah dan tidak diperintahkan qadha.

2. Ijtihad dalam memilih kesucian air dari dua bejana yang diyakini salah satunya terkena najis. Bila ijtihadnya berubah, maka ijtihad sebelumnya tetap berlaku.

Maka ia tidak boleh menggunakan air dari kedua bejana tersebut, namun ia harus bertayamum.

3. Keputusan hukum dari seorang hakim. Bila suatu ketika ijtihadnya berubah, maka hukum sebelumnya tetap berlaku sekalipun ijtihad baru itu lebih kuat. Hanya saja kejadian yang baru mesti diputuskan dengan ijtihad baru.

Pengecualian Kaidah

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa setiap kaidah Aghlabiyah terdapat beberapa persoalan hukum yang dikecualikan.

Adapun persoalan hukum yang dikecualikan dari kaidah ini di antaranya adalah:

1. Penghapusan tanah larangan dari pemimpin sebelumnya. Bila keputusannya diganti oleh pemimpin yang baru, maka keputusan dari pemimpin sebelumnya diruntuhkan atau dianulir.

2. Penentuan harga barang bila diketahui kekurangan atau kelebihan barang yang dihargakan.

 

Wallahu A’lam bi al-Shawab...

Semoga bermanfaat.....

 

Referensi:

Idhah al-Qawaid

Fawaid al-Janiyah

 

 


Posting Komentar