Al-Ijtihad la Yunqadhu bi al-Ijtihad (Kaidah)
Al-Ijtihad la Yunqadhu bi al-Ijtihad (Kaidah)
Kaidah Al-Ijtihad La Yunqadhu bi al-Ijtihad
merupakan bagian dari kaidah Aghlabiyah. Kaidah ini juga merupakan kaidah
kulliyah yang mencakup beberapa permasalahan yang tidak terbatas pada satu bab.
Namun tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian.
Oleh sebab itu, kaidah ini dinamakan kaidah Kulliyah Aghlabiyah
(universal representatif). Berbeda dengan kaidah Kulliyah Kubra yang bersifat
universal komprehensif.
Kali ini, penulis akan menjelaskan kaidah pertama dari
kaidah Aghlabiyah, yakni kaidah Al-Ijtihad La Yunqadhu bi al-Ijtihad
(ijtihad tidak bisa dianulir dengan sebab ijtihad yang lain).
Pengertian Ijtihad
Secara etimologi, ijtihad merupakan bentuk kata benda
dari kata ijtahada-yajtahidu yang dapat diartikan dengan
pengerahan segala kemampuan dalam meraih maksud tertentu.
Sedangkan secara terminologi, ijtihad adalah upaya
seorang mujtahid dalam mengerahkan segala kemampuan untuk menghasilkan hukum
dengan menganalisa berbagai dalil.
Upaya ijtihad yang dilakukannya, bila sesuai dengan
ketetapan hukum Allah SWT, maka ijtihadnya benar dan mereka akan mendapatkan
dua pahala, yakni pahala ijtihad dan kebenaran dalam berijtihad. Akan tetapi
bila tidak sesuai, maka ijtihadnya tidak benar, namun mereka tetap mendapatkan
pahala, yakni pahala ijtihad.
Hal ini hanya berlaku bagi mereka yang memiliki kapasitas
dalam berijtihad, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam disiplin ilmu Ushul
Fiqh.
Substansi Kaidah
Adapun substansi dari kaidah ini adalah hasil dari
ijtihad lama yang telah memenuhi beberapa syarat, tidak gugur hukumnya
disebabkan hasil ijtihad baru.
Dalam artian, sesuatu yang telah dilakukan dengan
berpegang pada hasil ijtihad lama tidak perlu diulangi dengan sebab hasil
ijtihad baru yang berbeda dengan ijtihad lama. Hanya saja hasil ijtihad lama
tidak boleh diamalkan setelah adanya hasil ijtihad baru.
Dalil Kaidah
Dalil kaidah ini adalah ijma’ para shahabat. Yang mana
pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab ra. Beliau banyak mefatwakan
hukum yang tidak sesuai dengan keputusan yang pernah difatwakan khalifah
sebelumnya, yakni Abu Bakar al-Shiddiq ra.
Akan tetapi, Khalifah Umar. tidak menganulir hukum yang
telah ditetapkan Khalifah Abu Bakar sebelumnya. Bahkan, beliau sendiri juga
pernah merubah keputusannya sendiri pada tahun pertama dengan keputusan baru
pada tahun berikutnya.
Saat diminta penjelasan tentang sikapnya ini, Khalifah
Umar menjawab:
تلك على ما قضينا وهذه على ما تقضى
“Ketentuan hukum yang pernah aku cetuskan itu adalah
keputusanku. Sedangkan ini (ketentuan hukum yang baru) adalah hal yang sekarang
aku putuskan.”
Furu’ Kaidah
Di antara beberapa furu’ dari kaidah ini adalah:
1. Ijtihad
seseorang tentang arah kiblat. Bila ijtihadnya berubah, maka ia harus berpegang
pada ijtihad baru dan shalat yang telah dilakukan dengan ijtihad lama dianggap
sah, yakni tidak diperintahkan qadha. Walaupun perubahan tersebut terjadi dalam
satu shalat.
Sehingga bila
seseorang shalat 4 rakaat dengan 4 arah kiblat yang berbeda dari hasil ijtihad,
maka shalatnya dianggap sah dan tidak diperintahkan qadha.
2. Ijtihad dalam
memilih kesucian air dari dua bejana yang diyakini salah satunya terkena najis.
Bila ijtihadnya berubah, maka ijtihad sebelumnya tetap berlaku.
Maka ia tidak
boleh menggunakan air dari kedua bejana tersebut, namun ia harus bertayamum.
3. Keputusan hukum
dari seorang hakim. Bila suatu ketika ijtihadnya berubah, maka hukum sebelumnya
tetap berlaku sekalipun ijtihad baru itu lebih kuat. Hanya saja kejadian yang
baru mesti diputuskan dengan ijtihad baru.
Pengecualian Kaidah
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa setiap kaidah
Aghlabiyah terdapat beberapa persoalan hukum yang dikecualikan.
Adapun persoalan hukum yang dikecualikan dari kaidah ini
di antaranya adalah:
1. Penghapusan
tanah larangan dari pemimpin sebelumnya. Bila keputusannya diganti oleh
pemimpin yang baru, maka keputusan dari pemimpin sebelumnya diruntuhkan atau
dianulir.
2. Penentuan harga
barang bila diketahui kekurangan atau kelebihan barang yang dihargakan.
Wallahu A’lam bi al-Shawab...
Semoga bermanfaat.....
Referensi:
Idhah al-Qawaid
Fawaid al-Janiyah
Posting Komentar