Penjelasan Lengkap Amar dan Nahi dalam Ilmu Ushul
Penjelasan Lengkap Amar dan Nahi
Amar dan nahi merupakan salah satu dari pembagian kalam. Pembagian ini
ditinjau dari sisi madlul yang terkandung dalam sebuah kalimat.
Pembahasan amar dan nahi dalam ilmu ushul ditinjau karena kaitannya dengan
dalil yang bersifat ijmali, sebagaimana hal ini telah kita pahami bahwa bagian
dari ilmu ushul adalah membicarakan tentang dalil ijlmali.
Di sini penulis akan menjelasakan pengertian amar dan nahi dan juga hal
lain yang berkaitan dengannya.
Pengertian Amar
Amar adalah tuntutan secara tegas untuk melakukan perbuatan dalam bentuk
ucapan kepada orang yang di bawahnya dengan menggunakan shighat amar (افعل).
Contohnya:
اضْرِبْ زَيْدًا
“Pukul oleh engkau akan si Zaid.”
Dapat dipahami bahwa kata yang dikategorikan kepada amar adalah “اضْرِبْ”. maksudnya, kalimat tersebut menunjukkan makna perintah untuk
melakukan pukulan kepada si Zaid.
Shigat Amar
Kalam yang dikategorikan kepada amar harus menggunakan kata dari shigatnya.
Yakni, kalam yang terkandung makna perintah atau tuntutan melakukan sesuatu,
jika tidak menggunakan shigatnya maka tidak digolongkan kepada amar.
Adapun shigat amar adalah:
1. افعل
2. ليفعل
(fi’il mudhari’ yang diawali dengan lam amar)
3. Isim fi’il amar
Adapun dalalah atau makna yang ditunjukkan dalam semua kata amar sangat lah
banyak.
Di antaranya adalah: wajib, sunnah, mendidik, memberi petunjuk,
mengizinkan, membolehkan, ingin dilakukan, memulyakan, memberi anugrah,
manakut-nakuti, memberi peringatan, menghinakan, meremehkan, merubah wujud, menjadikan,
melemahkan, menyamai, doa, berkhayal, memberi kabar, memberi nikmat,
menyerahkan, terheran-heran, mendustakan, musyawarah, mengambil pelajaran dan
lain-lain.
Dalalah amar secara mutlaq adalah wajib. Pemakaian amar dengan makna selain
wajib seperti yang telah dijelaskan di atas adalah dengan melihat beberapa alaqah
(indikator) yang terkandung pada kalimat.
Untuk mengetahui tentang contoh dari setiap makna di atas. Silahkan
teman-teman lihat pada pembasan yang panjang lebar dalam berbagai kitab Ushul
dan insyaallah akan penulis jelaskan pada postingan selanjutnya.
Pengertian Nahi
Nahi adalah larangan secara tegas untuk melakukan perbuatan dalam bentuk
ucapan kepada orang yang di bawahnya dengan menggunakan shighat nahi (لا تفعل).
Contohnya:
لَاتَضْرِبْ
زَيْدًا
“Jangan engkau pukul si Zaid.”
Dapat dipahami bahwa kata yang dikategorikan kepada nahi adalah “لَاتَضْرِبْ”. maksudnya, kalimat tersebut menunjukkan makna larangan untuk
melakukan memukul si Zaid.
Shigat Nahi
Sebagaimana yang berlaku pada amar, nahi juga harus menggunakan shigat
tertentu untuk mengetahui keberadaan nahi karena salah satu perbedaan antara
amar dan nahi adalah bentuk lafaznya.
Yakni, jika larangan tidak menggunakan shigat nahi maka ia tidak digolongkan
kepada nahi, walaupun ia menunjukkan makna larangan.
Adapun shigatnya adalah: لا
تفعل
Secara mutlaq nahi menunjukkan kepada makna tahrim (haram).
Pemakaian nahi dengan makna selain tahrim adalah dengan melihat beberapa
alaqah (indikator) yang terkandung pada kalimat.
Makna yang ditunjukkan dalam kata nahi sangat lah banyak.
Di antaranya: haram, makruh, irsyad, doa, menjelaskan akibat sesuatu,
meremehkan, menganggap sedikit, putus asa.
Dalalah Nahi
Menurut mayoritas ulama Syafi’iyyah, nahi menunjukkan fasid manhi ‘anh (rusak
sesuatu yang dilarang), baik itu dalam ibadah ataupun muamalat, baik larangan
tersebur bersifat internal maupun eksternal, kecuali eksternal yang tidak
melazimi (tetap).
Dalam ibadah, sasaran larangan yang menyebabkan fasid manhi ‘anh
sebagai berikut:
1. Diri ibadah (bentuk
ibadah).
Contohnya larangan shalat bagi perempuan yang
haid.
2. Amrun dakhil (faktor internal).
Contohnya larangan merusak salah satu rukun dari
beberapa rukun shalat.
3. Amrun kharij
lazim (faktor
eksternal yang melazimi).
Contohnya larangan puasa pada hari raya idul
adha. Hal ini bukan dari sisi puasanya, namun dari segi penolakan atas suguhan
berupa daging kurban pada hari itu.
Dalam muamalat, sasaran larangan yang menyebabkan fasid manhi ‘anh
sebagai berikut:
1. Diri akad
(bentuk akad)
Contohnya larangan jual beli dengan cara hashah
(kerikil)
2. Amrun dakhil (faktor internal).
Contohnya larangan jual beli janin dalm perut
induknya.
3. Amrun kharij
lazim (faktor
eksternal yang melazimi).
Contohnya menjual satu dirham dengan harga dua
dirham.
Keberadaan Sifat Ulu dan Isti’la pada Amar dan Nahi
Dalam permasalahan amar,, para ulama berbeda pendapat terhadap persyaratan ulu
(علو) dan isti’la (استعلاء).
Ulu adalah sifat
mutakklim. Yakni, orang yang memerintah atau menuntut lebih tinggi derajatnya
daripada yang dituntut.
Isti’la adalah sifat
kalam. Yakni, kalam yang disampaikan oleh mutakallim bernada tinggi walaupun
derajatnya lebih rendah daripada orang yang dituntut.
Menurut pendapat jumhur dalam ilmu ushul, tidak mensyaratkan dua sifat
tersebur pada amar.
Namun sebagian yang lain mensyaratkan adanya sifat ulu pada amar dan
sebagian yang lain mensyaratkan adanya sifat isti’la.
Ketentuan Amar dan Nahi
· Amar tidak menunjukkan kepada terus menerus,
kecuali terdapat dalil lain yang memerintahkan demikian. Berbeda halnya dengan
nahi
· Amar tidak menunjukkan kepada segera untuk
dilakukan.
· Sesuatu yang berkaitan dengan terlaksananya pelaksanaan
wajib maka sesuatu tersebut juga wajib
· Perintah setelah terjadinya larangan
menunjukkan kepada ibahah.
Sumber:
Lathaif al-Isyarat
Al-Khulashah fi Ushul al-Fiqh
Jam’u al-Jawami’
Posting Komentar