Pembahasan Lengkap Tentang Shalat Berjamaah (Fiqh Shalat)
Pembahasan Lengkap Tentang Shalat Berjamaah
Shalat berjamaah merupakan bagian dari syiar islam. Shalat berjamaah
memiliki kelebihan 27 derajat dibandingkan dengan shalat sendirian.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam hadis bahwa Nabi muhammad
SAW bersabda:
صلاة الجماعة أفضل من صلاة الفذّ بسبع وعشرين درجة
“Shalat berjamaah itu lebih utama 27 derajat dari shalat
sendirian.”
Untuk mengenal lebih jauh, di sini penulis akan menjelaskan tentang
shalat berjamaah, baik itu awal disyariatkan, hukum pelaksanaan, ketentuan imam
dan makmum serta beberapa hal yang berkaitan dengannya.
Awal Disyariatkan
Shalat berjamaah merupakan keistimewaan bagi umat islam, yakni umat
Nabi Muhammad SAW. Begitu juga shalat jumat, shalat hari raya, shalat gerhana dan
lain-lain.
Shalat berjamaah disyariatkan di negeri Madinah. Hal ini tentu
karena kekejaman kafir quraisy Mekah terhadap para sahabat, sehingga mereka
hanya bisa melaksanakan shalat sendirian di rumah mereka masing-masing.
Hukum
Hukum melaksanakan shalat berjamaah adalah fardhu kifayah,
sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab Raudhah.
Ketentuan Imam
· Tidak dibolehkan mengikuti orang
yang sudah diketahui atau diyakini bahwa shalatnya batal
· Tidak dibolehkan mengikuti makmum (orang
yang mengikuti orang lain)
· Tidak dibolehkan mengikuti orang
yang wajib mengulangi shalatnya (i’adah).
· Tidak dibolehkan bagi seorang qari
untuk mengikuti ummi. Namun sah bagi seorang umi untuk mengikuti orang yang
sama dengannya.
Ummi adalah orang yang salah dalam
bacaan fatihah. Diantaranya orang yang mengidghamkan bukan pada tempatnya atau
orang yang menukar satu huruf dengan huruf yang lain.
· Makruh mengikuti orang yang
mengulangi ta (tam-tam) dan orang yang mengulang fa (fa-fa) pada bacaannya
(pada selain surah al-fatihah) bila tidak berubah makna.
· Orang yang keliru dalam bacaan
fatihah, jika berubah makna maka shalatnya batal bila memungkinkan untuk
belajar. Jika lidahnya tidak mampu atau tidak ada masa yang memungkinkan untuk
belajar maka hukumnya sama dengan seorang ummi.
Namun bila kekeliruan itu terdapat
pada selain fatihah maka shalatnya sah dan boleh untuk mengikutinya.
· Laki-laki dan khunsa tidak sah untuk
mengikuti perempuan dan khunsa
· Dibolehkan bagi orang yang berwudhu
untuk mengikuti orang tayamum yang tidak wajib i’adah. Begitu juga orang yang
menyapu sepatu.
· Orang yang baligh merdeka dibolehkan
untuk mengikuti anak-anak dan hamba sahaya. Namun orang yang baligh lebih utama
daripada anak-anak dan hamba sahaya yang baligh lebih utama daripada anak-anak
merdeka.
· Kedudukan orang yang buta itu sama
dengan orang yang bisa melihat
· Dibolehkan bagi orang yang sehat
untuk mengikuti orang yang berkekalan hadas, baik itu kencing yang terus
menetes-netes ataupun istihadah kecuali mutahayyirah.
· Seandainya seseorang telah melakukan
shalat secara berjamaah, ternyata imamnya perempuan atau kafir maka wajib untuk
mengulangi shalatnya, kecuali berjunub atau terdapat najis yang samar-samar.
· Orang yang adil lebih utama untuk
menjadi imam daripada orang yang fasik
· Orang yang paham ilmu fikih lebih
utama daripada orang yang banyak hafalan dan orang yang lebih wara’
· Orang yang paham ilmu fikih dan
banyak hafalan lebih utama daripada orang tua serta bangsawan
· Orang tua lebih utama daripada
bangsawan.
· Jika kedudukan yang telah disebutkan
sebelumnya sama maka orang yang bersih pakaian dan badan, bagus suara dan pekerjaan
lebih utama daripada selainnya.
· Keturunan dari bani hasyim dan bani
muthalib lebih utama daripada selainnya
· Orang yang berhak atas manfaat dari
tempat berjamaah (karena kepemilikan atau semisalnya) lebih utama daripada
selainnya, kecuali apabila ia tidak layak untuk menjadi imam
· Petinggi di daerah kekuasaannya
lebih utama daripada orang yang lebih faqih dan pemilik tempat
· Tidak disyaratkan bagi imam untuk
berniat mengimami. Namun disunahkan agar memperoleh pahala imam
· Tidak disunahkan menentukan makmum. Namun
seandainya imam salah dalam menentukannya maka tidak memberi efek kepada sah
shalat.
Ketentuan Makmum
· Berniat mengikuti imam atau
berjamaah ketika takbir
· Tidak wajib menentukan imam. Namun apabila
ditentukan dan ternyata salah maka shalatnya batal
· Tidak dibolehkan tempat berdiri
makmum lebih maju daripada imam
· Disunahkan tempat berdiri makmum di
belakang imam dengan patokan tumit bila makmumnya satu orang
· Makmum laki-laki (satu orang)
berdiri di sebelah kanan imam.
· Jika datang satu orang makmum maka
ia berdiri di sebelah kiri imam serta takbiratul ihram kemudian imam maju atau
keduanya mundur.
Mundurnya kedua makmum lebih utama
daripada majunya imam
· Jika datang dua orang laki-laki maka
keduanya berdiri di belakang imam dengan satu shaf. Begitu juga seorang wanita
atau lebih
· Jika yang hadir beserta imam itu
adalah seorang pria dan seorang wanita maka pria berdiri di sebelah kanan imam
dan wanita berdiri di belakang pria.
· Jika yang hadir itu dua orang pria
dan satu orang wanita maka kedua pria berdiri di belakang imam dengan satu shaf
dan wanita berdiri di belakang dua pria tersebut.
· Berdiri di belakang imam, para pria
kemudian anak-anak kemudian para wanita
· Makruh bagi makmum berdiri
sendirian. Bila terdapat tempat yang mungkin untuk berdiri maka hendaklah ia
berdiri pada tempat tersebut. Namun jika tidak maka hendaknya ia menarik
(memberi kode) satu orang dari shaf setelah takbiratul ihram dan hendaknya
orang yang ditarik membantu dengan menurutinya
· Disyaratkan mengetahui perpindahan
imam dengan melihatnya atau sebagian shaf, mendengarnya atau mubaligh.
Jarak Imam dan Makmum
· Bila imam dan makmum shalat dalam
satu masjid maka sah shalatnya walaupun dengan jarak yang jauh dan dihalangi
oleh beberapa ruangan
· Seandainya imam dan makmum shalat di
tempat terbuka maka disyaratkan tidak boleh jarak antara keduanya melebihi dari
300 hasta.
· Jika di belakang imam terdapat 2
orang atau 2 shaf yang mengikutinya maka yang diperhatikan adalah jarak antara
yang terakhir dan pertama, bukan jarak antara yang terakhir dengan imam, baik itu
tempat yang ia miliki, wakaf atau pun selainnya.
· Jalan yang sering dilalui dan sungai
yang mengalir, tidak memberi efek kepada putusnya jarak antara dua orang atau
dua shaf.
· Bila seandainya imam dan makmum
berada pada dua bangunan yang berbeda, penjelasannya sebagai berikut:
Ø Jika bangunan makmum di sebelah
kanan atau sebelah kiri bangunan imam maka wajib bersambung shaf dari salah
satu dua bangunan dengan shaf bangunan yang lain (celah yang tidak bisa
ditempatkan oleh satu orang, tidak memberi efek pada persambungan)
Ø Jika bangunan makmum di belakang
imam maka hukumnya sama dengan tempat terbuka jika tidak ada penghalang atau
dihalangi oleh pintu yang tembus.
Jika dihalangi oleh dinding maka
tidak sah. Begitu juga sesuatu yang menghalangi untuk dilewati namun tetap bisa
melihat
· Apabila sah mengikuti imam di
bangunan yang lain maka sah pula mengikuti orang di belakangnya meskipun
dinding dapat menghalangi antaranya dan imam
· Makruh jika posisi makmum lebih
tinggi daripada imam. Begitu juga sebaliknya kecuali ada keperluan
· Bila seandainya makmum lebih tinggi
posisinya dari imam maka disyaratkan sebagian badan makmum sejajar dengan
sebagian badan imam
· Seandainya makmum berdiri di tanah
mati dan imam di dalam masjid yang bersambung dengan tanah mati, jika tidak
dihalangi oleh sesuatu pun maka shalatnya sah dengan syarat berdekatan dalam
artian tidak melebihi dari 300 hasta yang terhitung dari akhir masjid.
Shalat di Masjidil Haram
· Disunahkan imam berdiri di belakang
maqam
· Tidak mengapa keberadaan makmum yang
selain arah imam lebih dekat ke ka’bah. Begitu juga di dalam ka’bah
· Seandainya imam berdiri dalam ka’bah
sedangkan makmum di luar, dibolehkan menghadap ke arah mana yang ia suka. Begitu
juga sebaliknya namun tidak boleh bagi makmum untuk tidak menghadap ke arah
imam
Keterangan
· Berjamaah di masjid bagi selain
perempuan itu lebih utama dibandingkan berjamaah di tempat yang lain.
· Masjid yang banyak jamaahnya lebih
utama dibandingkan masjid yang sedikit jamaahnya, kecuali imamnya ahli bid’ah
atau masjid akan kosong bila ia tidak hadir.
· Mendapatkan takbiratul ihram bersama
imam merupakan sebuah keutamaan. Hal ini hanya tercapai dengan mengiringi
takbiratul ihram imam secara langsung (tidak diselangi oleh apapun)
· Jamaah diperdapatkan selama imam
belum salam. Dalam artian, jika ia takbir ketika imam duduk tahiyat akhir maka digolongkan
kepada orang yang shalat berjamaah
· Disunatkan bagi seorang imam untuk
meringankan shalatnya serta mengerjakan sunah ab’ad dan sunah haiat, kecuali
makmum yang terbatas setuju dengan memanjangkannya.
· Makruh memanjangkan shalat dengan
tujuan agar disusul oleh orang lain atau seseorang yang terpandang.
Namun jika imam merasakan akan ada
yang mengikutinya pada saat ia rukuk atau tasyahud akhir (tidak pada keadaan
yang lain) maka disunahkan untuk menunggunya bila tidak berlebihan (menunggu)
dan tidak membedakan orang yang ditunggu.
· Disunahkan bagi orang yang shalat
sendirian untuk mengulanginya secara berjamaah bila terdapat jamaah dalam waktunya.
Begitu juga orang yang telah shalat secara berjamaah
· Tidak terdapat keringanan dalam
meninggalkan shalat berjamaah kecuali uzur, seperti, sakit, hujan, angin
kencang di waktu malam dan lain-lain.
· Disunahkan untuk tidak berdiri
hingga muadzin menyelesaikan iqamah
· Disunahkan untuk tidak mengerjakan
shalat sunah ketika muadzin telah masuk pada iqamah. Namun jika ia sedang
shalat sunah maka hendak menyelesaikannya bila tidak khawatir luput jamaah
· Dibolehkan bagi orang yang mengerjakan
shalat ada` (tunai) untuk mengikuti orang yang shalat qadha, orang yang shalat
fardhu mengikuti orang yang shalat sunah, orang yang shalat zuhur mengikuti
orang yang shalat ashar dan kebalikan dari semuanya.
Begitu juga dibolehkan shalat zuhur
mengikuti shalat subuh dan magrib dan hukumnya sama dengan orang yang masbuq.
Dibolehkan (tidak mengapa) mengikuti
imam yang qunut pada shalat subuh dan duduk tahiyat akhir pada shalat magrib. Begitu
juga berniat mufaraqah (berpisah) dari imam.
· Jika berbeda perbuatan shalat yang
dikerjakan oleh imam dan makmum maka tidak sah. Seperti shalat wajib dengan
shalat gerhana atau shalat jenazah.
· Wajib mengikuti imam dari semua
kelakuan dalam shalat. Jika beriringan dengan imam pada perbuatan atau
perkataan, dibolehkan kecuali takbiratul ihram.
· Jika makmum tertinggal satu rukun
maka tidak batal shalatnya.
Namun apabila tertinggal dua rukun,
jika tidak ada uzur maka shalatnya batal
Apabila terdapat uzur dengan
pengertian imam mempercepatkan bacaan dan rukuk sebelum makmum menyelesaikan
fatihah maka shalatnya tidak batal dengan menyelesaikan bacaannya dan
melanjutkan shalatnya di belakang imam selama tidak didahului tiga rukun yang
panjang.
Jika didahului lebih dari 3 rukun
yang panjang maka ia wajib mengikuti imam pada apa yang dikerjakan imam,
kemudian menambahkan rakaat setelah salam sebagaimana masbuq
· Apabila makmum tidak menyelesaikan
fatihah karena sibuk dengan membaca doa iftitah, sedangkan imam telah rukuk
maka ia digolongkan kepada orang yang uzur sebagaimana hukum orang yang lambat
bacaan
Penjelasan di atas khusus pada
makmum yang muwafiq (orang yang mendapatkan tempat bacaan fatihah)
· Adapun masbuq yang mana imamnya
telah rukuk pada bacaan fatihahnya maka hendaklah ia meninggalkan bacaannya dan
rukuk beserta imam bila tidak sibuk dengan doa iftitah dan ta’awudz. Maka ia
mendapatkan satu rakaat beserta imam
Namun jika ia sibuk dengan membaca
doa iftitah atau ta’awudz maka wajib membaca seukurannya
· Hendaklah makmum tidak menyibukkan
diri dengan hal sunat setelah takbiratul haram, kecuali yakin dan mendapatkan
yang wajib ketika sibuk dengan sunah.
Wallahu
A’lam bi al-Shawab...
Semoga
bermanfaat...
Sumber:
Fath
al-Muin.
Kanz
al-Raghibin
Posting Komentar