Jadilah orang pertama yang menerima update artikel terbaru dari kami!!!

Pembahasan Lengkap Tentang Shalat Berjamaah (Fiqh Shalat)

Daftar Isi

Pembahasan Lengkap Tentang Shalat Berjamaah

Shalat berjamaah merupakan bagian dari syiar islam. Shalat berjamaah memiliki kelebihan 27 derajat dibandingkan dengan shalat sendirian.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam hadis bahwa Nabi muhammad SAW bersabda:

صلاة الجماعة أفضل من صلاة الفذّ بسبع وعشرين درجة

“Shalat berjamaah itu lebih utama 27 derajat dari shalat sendirian.”

Untuk mengenal lebih jauh, di sini penulis akan menjelaskan tentang shalat berjamaah, baik itu awal disyariatkan, hukum pelaksanaan, ketentuan imam dan makmum serta beberapa hal yang berkaitan dengannya.

Awal Disyariatkan

Shalat berjamaah merupakan keistimewaan bagi umat islam, yakni umat Nabi Muhammad SAW. Begitu juga shalat jumat, shalat hari raya, shalat gerhana dan lain-lain.

Shalat berjamaah disyariatkan di negeri Madinah. Hal ini tentu karena kekejaman kafir quraisy Mekah terhadap para sahabat, sehingga mereka hanya bisa melaksanakan shalat sendirian di rumah mereka masing-masing.

Hukum

Hukum melaksanakan shalat berjamaah adalah fardhu kifayah, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab Raudhah.

Ketentuan Imam

·   Tidak dibolehkan mengikuti orang yang sudah diketahui atau diyakini bahwa shalatnya batal

·   Tidak dibolehkan mengikuti makmum (orang yang mengikuti orang lain)

·   Tidak dibolehkan mengikuti orang yang wajib mengulangi shalatnya (i’adah).

·   Tidak dibolehkan bagi seorang qari untuk mengikuti ummi. Namun sah bagi seorang umi untuk mengikuti orang yang sama dengannya.

Ummi adalah orang yang salah dalam bacaan fatihah. Diantaranya orang yang mengidghamkan bukan pada tempatnya atau orang yang menukar satu huruf dengan huruf yang lain.

·   Makruh mengikuti orang yang mengulangi ta (tam-tam) dan orang yang mengulang fa (fa-fa) pada bacaannya (pada selain surah al-fatihah) bila tidak berubah makna.

·   Orang yang keliru dalam bacaan fatihah, jika berubah makna maka shalatnya batal bila memungkinkan untuk belajar. Jika lidahnya tidak mampu atau tidak ada masa yang memungkinkan untuk belajar maka hukumnya sama dengan seorang ummi.

Namun bila kekeliruan itu terdapat pada selain fatihah maka shalatnya sah dan boleh untuk mengikutinya.

·   Laki-laki dan khunsa tidak sah untuk mengikuti perempuan dan khunsa

·   Dibolehkan bagi orang yang berwudhu untuk mengikuti orang tayamum yang tidak wajib i’adah. Begitu juga orang yang menyapu sepatu.

·   Orang yang baligh merdeka dibolehkan untuk mengikuti anak-anak dan hamba sahaya. Namun orang yang baligh lebih utama daripada anak-anak dan hamba sahaya yang baligh lebih utama daripada anak-anak merdeka.

·   Kedudukan orang yang buta itu sama dengan orang yang bisa melihat

·   Dibolehkan bagi orang yang sehat untuk mengikuti orang yang berkekalan hadas, baik itu kencing yang terus menetes-netes ataupun istihadah kecuali mutahayyirah.

·   Seandainya seseorang telah melakukan shalat secara berjamaah, ternyata imamnya perempuan atau kafir maka wajib untuk mengulangi shalatnya, kecuali berjunub atau terdapat najis yang samar-samar.

·   Orang yang adil lebih utama untuk menjadi imam daripada orang yang fasik

·   Orang yang paham ilmu fikih lebih utama daripada orang yang banyak hafalan dan orang yang lebih wara’

·   Orang yang paham ilmu fikih dan banyak hafalan lebih utama daripada orang tua serta bangsawan

·   Orang tua lebih utama daripada bangsawan.

·   Jika kedudukan yang telah disebutkan sebelumnya sama maka orang yang bersih pakaian dan badan, bagus suara dan pekerjaan lebih utama daripada selainnya.

·   Keturunan dari bani hasyim dan bani muthalib lebih utama daripada selainnya

·   Orang yang berhak atas manfaat dari tempat berjamaah (karena kepemilikan atau semisalnya) lebih utama daripada selainnya, kecuali apabila ia tidak layak untuk menjadi imam

·   Petinggi di daerah kekuasaannya lebih utama daripada orang yang lebih faqih dan pemilik tempat

·   Tidak disyaratkan bagi imam untuk berniat mengimami. Namun disunahkan agar memperoleh pahala imam

·   Tidak disunahkan menentukan makmum. Namun seandainya imam salah dalam menentukannya maka tidak memberi efek kepada sah shalat.

Ketentuan Makmum

·   Berniat mengikuti imam atau berjamaah ketika takbir

·   Tidak wajib menentukan imam. Namun apabila ditentukan dan ternyata salah maka shalatnya batal

·   Tidak dibolehkan tempat berdiri makmum lebih maju daripada imam

·   Disunahkan tempat berdiri makmum di belakang imam dengan patokan tumit bila makmumnya satu orang

·   Makmum laki-laki (satu orang) berdiri di sebelah kanan imam.

·   Jika datang satu orang makmum maka ia berdiri di sebelah kiri imam serta takbiratul ihram kemudian imam maju atau keduanya mundur.

Mundurnya kedua makmum lebih utama daripada majunya imam

·   Jika datang dua orang laki-laki maka keduanya berdiri di belakang imam dengan satu shaf. Begitu juga seorang wanita atau lebih

·   Jika yang hadir beserta imam itu adalah seorang pria dan seorang wanita maka pria berdiri di sebelah kanan imam dan wanita berdiri di belakang pria.

·   Jika yang hadir itu dua orang pria dan satu orang wanita maka kedua pria berdiri di belakang imam dengan satu shaf dan wanita berdiri di belakang dua pria tersebut.

·   Berdiri di belakang imam, para pria kemudian anak-anak kemudian para wanita

·   Makruh bagi makmum berdiri sendirian. Bila terdapat tempat yang mungkin untuk berdiri maka hendaklah ia berdiri pada tempat tersebut. Namun jika tidak maka hendaknya ia menarik (memberi kode) satu orang dari shaf setelah takbiratul ihram dan hendaknya orang yang ditarik membantu dengan menurutinya

·   Disyaratkan mengetahui perpindahan imam dengan melihatnya atau sebagian shaf, mendengarnya atau mubaligh.

Jarak Imam dan Makmum

·   Bila imam dan makmum shalat dalam satu masjid maka sah shalatnya walaupun dengan jarak yang jauh dan dihalangi oleh beberapa ruangan

·   Seandainya imam dan makmum shalat di tempat terbuka maka disyaratkan tidak boleh jarak antara keduanya melebihi dari 300 hasta.

·   Jika di belakang imam terdapat 2 orang atau 2 shaf yang mengikutinya maka yang diperhatikan adalah jarak antara yang terakhir dan pertama, bukan jarak antara yang terakhir dengan imam, baik itu tempat yang ia miliki, wakaf atau pun selainnya.

·   Jalan yang sering dilalui dan sungai yang mengalir, tidak memberi efek kepada putusnya jarak antara dua orang atau dua shaf.

·   Bila seandainya imam dan makmum berada pada dua bangunan yang berbeda, penjelasannya sebagai berikut:

Ø Jika bangunan makmum di sebelah kanan atau sebelah kiri bangunan imam maka wajib bersambung shaf dari salah satu dua bangunan dengan shaf bangunan yang lain (celah yang tidak bisa ditempatkan oleh satu orang, tidak memberi efek pada persambungan)

Ø Jika bangunan makmum di belakang imam maka hukumnya sama dengan tempat terbuka jika tidak ada penghalang atau dihalangi oleh pintu yang tembus.

Jika dihalangi oleh dinding maka tidak sah. Begitu juga sesuatu yang menghalangi untuk dilewati namun tetap bisa melihat

·   Apabila sah mengikuti imam di bangunan yang lain maka sah pula mengikuti orang di belakangnya meskipun dinding dapat menghalangi antaranya dan imam

·   Makruh jika posisi makmum lebih tinggi daripada imam. Begitu juga sebaliknya kecuali ada keperluan

·   Bila seandainya makmum lebih tinggi posisinya dari imam maka disyaratkan sebagian badan makmum sejajar dengan sebagian badan imam

·   Seandainya makmum berdiri di tanah mati dan imam di dalam masjid yang bersambung dengan tanah mati, jika tidak dihalangi oleh sesuatu pun maka shalatnya sah dengan syarat berdekatan dalam artian tidak melebihi dari 300 hasta yang terhitung dari akhir masjid.

Shalat di Masjidil Haram

·   Disunahkan imam berdiri di belakang maqam

·   Tidak mengapa keberadaan makmum yang selain arah imam lebih dekat ke ka’bah. Begitu juga di dalam ka’bah

·   Seandainya imam berdiri dalam ka’bah sedangkan makmum di luar, dibolehkan menghadap ke arah mana yang ia suka. Begitu juga sebaliknya namun tidak boleh bagi makmum untuk tidak menghadap ke arah imam

Keterangan

·   Berjamaah di masjid bagi selain perempuan itu lebih utama dibandingkan berjamaah di tempat yang lain.

·   Masjid yang banyak jamaahnya lebih utama dibandingkan masjid yang sedikit jamaahnya, kecuali imamnya ahli bid’ah atau masjid akan kosong bila ia tidak hadir.

·   Mendapatkan takbiratul ihram bersama imam merupakan sebuah keutamaan. Hal ini hanya tercapai dengan mengiringi takbiratul ihram imam secara langsung (tidak diselangi oleh apapun)

·   Jamaah diperdapatkan selama imam belum salam. Dalam artian, jika ia takbir ketika imam duduk tahiyat akhir maka digolongkan kepada orang yang shalat berjamaah

·   Disunatkan bagi seorang imam untuk meringankan shalatnya serta mengerjakan sunah ab’ad dan sunah haiat, kecuali makmum yang terbatas setuju dengan memanjangkannya.

·   Makruh memanjangkan shalat dengan tujuan agar disusul oleh orang lain atau seseorang yang terpandang.

Namun jika imam merasakan akan ada yang mengikutinya pada saat ia rukuk atau tasyahud akhir (tidak pada keadaan yang lain) maka disunahkan untuk menunggunya bila tidak berlebihan (menunggu) dan tidak membedakan orang yang ditunggu.

·   Disunahkan bagi orang yang shalat sendirian untuk mengulanginya secara berjamaah bila terdapat jamaah dalam waktunya. Begitu juga orang yang telah shalat secara berjamaah

·   Tidak terdapat keringanan dalam meninggalkan shalat berjamaah kecuali uzur, seperti, sakit, hujan, angin kencang di waktu malam dan lain-lain.

·   Disunahkan untuk tidak berdiri hingga muadzin menyelesaikan iqamah

·   Disunahkan untuk tidak mengerjakan shalat sunah ketika muadzin telah masuk pada iqamah. Namun jika ia sedang shalat sunah maka hendak menyelesaikannya bila tidak khawatir luput jamaah

·   Dibolehkan bagi orang yang mengerjakan shalat ada` (tunai) untuk mengikuti orang yang shalat qadha, orang yang shalat fardhu mengikuti orang yang shalat sunah, orang yang shalat zuhur mengikuti orang yang shalat ashar dan kebalikan dari semuanya.

Begitu juga dibolehkan shalat zuhur mengikuti shalat subuh dan magrib dan hukumnya sama dengan orang yang masbuq.

Dibolehkan (tidak mengapa) mengikuti imam yang qunut pada shalat subuh dan duduk tahiyat akhir pada shalat magrib. Begitu juga berniat mufaraqah (berpisah) dari imam.

·   Jika berbeda perbuatan shalat yang dikerjakan oleh imam dan makmum maka tidak sah. Seperti shalat wajib dengan shalat gerhana atau shalat jenazah.

·   Wajib mengikuti imam dari semua kelakuan dalam shalat. Jika beriringan dengan imam pada perbuatan atau perkataan, dibolehkan kecuali takbiratul ihram.

·   Jika makmum tertinggal satu rukun maka tidak batal shalatnya.

Namun apabila tertinggal dua rukun, jika tidak ada uzur maka shalatnya batal

Apabila terdapat uzur dengan pengertian imam mempercepatkan bacaan dan rukuk sebelum makmum menyelesaikan fatihah maka shalatnya tidak batal dengan menyelesaikan bacaannya dan melanjutkan shalatnya di belakang imam selama tidak didahului tiga rukun yang panjang.

Jika didahului lebih dari 3 rukun yang panjang maka ia wajib mengikuti imam pada apa yang dikerjakan imam, kemudian menambahkan rakaat setelah salam sebagaimana masbuq

·   Apabila makmum tidak menyelesaikan fatihah karena sibuk dengan membaca doa iftitah, sedangkan imam telah rukuk maka ia digolongkan kepada orang yang uzur sebagaimana hukum orang yang lambat bacaan

Penjelasan di atas khusus pada makmum yang muwafiq (orang yang mendapatkan tempat bacaan fatihah)

·   Adapun masbuq yang mana imamnya telah rukuk pada bacaan fatihahnya maka hendaklah ia meninggalkan bacaannya dan rukuk beserta imam bila tidak sibuk dengan doa iftitah dan ta’awudz. Maka ia mendapatkan satu rakaat beserta imam

Namun jika ia sibuk dengan membaca doa iftitah atau ta’awudz maka wajib membaca seukurannya

·   Hendaklah makmum tidak menyibukkan diri dengan hal sunat setelah takbiratul haram, kecuali yakin dan mendapatkan yang wajib ketika sibuk dengan sunah.

 

Wallahu A’lam bi al-Shawab...

Semoga bermanfaat...

 

 

Sumber:

Fath al-Muin.

Kanz al-Raghibin

 

Posting Komentar