Jadilah orang pertama yang menerima update artikel terbaru dari kami!!!

Pembahasan Lengkap Tentang Hukum Syara’ dan Pembagiannya

Daftar Isi

Pembahasan Lengkap Tentang Hukum Syara’ dan Pembagiannya

Dalam disiplin ilmu ushul fiqh, kita akan menemukan penjelasan tentang hukum syara’, yang mana mengetahui setiap definisi dari hukum syara’ merupakan ranah pembahasan dalam ilmu ushul fiqh.

Pada pembahasan kali ini, penulis akan menjelasakan apa itu hukum syara’, pembagian hukum syara’ dan bagaimana definisi atau pengertian dari setiap hukum syara’.

Mari ikuti penjelasan berikut.

Pengertian Hukum Syara’

Para ulama ushul mendefinisikan hukum dengan “khitab Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik itu berupa tuntutan, pilihan ataupun wadha’.”

Khitab

Khitab adalah firman Allah SWT yang manjadi madlul atau mafhum (yang dipahaman) dari Al-Quran, Hadis, Ijma’ dan dalil-dalil yang lain.

Mukallaf

Mukallaf adalah orang yang sudah aqil baligh, berakal, sampai seruan da’wah dan layak untuk menerima khithab.

Pembagian Hukum Syara’

Hukum syara’ ataupun khitab Allah terbagi 2, yaitu

1.  Taklifi

2.  Wadh’i

Taklifi dan Pembagiannya

Taklifi adalah khithab Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan ataupun tidak.

Hukum taklifi terbagi 5, yaitu:

1.  Ijab

2.  Nadb

3.  Ibahah

4.  Karahah

5.  Tahrim

Pembagian ini berpijak pada perbuatan dan amalan yang dilakukan manusia sehari-hari, khusunya selain yang bersifat transaksi.

Yakni, perbuatan yang dikerjakan oleh manusia itu adakalanya berdasarkan tuntutan dan adakalnya tidak (boleh dilakukan atau ditinggalkan).

Perbuatan yang dikerjakan atas dasar tuntutan, adakalanya dituntut untuk mengerjakan dan adakalanya dituntut untuk meninggalkan.

Tuntutan ini, baik itu untuk mengerjakan ataupun meninggalkan, adakalanya berdasarkan tuntutan yang lazim (tidak boleh ditinggalkan) dan adakalanya tidak.

Dari uraian ini, dapat kita simpulkan bahwa hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia selain transaksi terbagi kepada 5 macam, yaitu:

1. Tuntutan yang lazim untuk dilakukan (Ijab)

2. Tuntutan yang tidak lazim untuk dilakukan (Nadb)

3. Tuntutan yang lazim untuk ditinggalkan (Tahrim)

4. Tuntutan yang tidak lazim untuk ditinggalkan (Karahah)

5. Tidak ada tuntutan (Ibahah)

Penjelasan ini juga merupakan definisi dari setiap hukum taklifi.

Seperti ijab yang didefinisikan dengan suatu tuntutan yang lazim untuk dilakukan, Nadb didefinisikan dengan suatu tuntutan yang tidak lazim untuk dilakukan, begitu juga dengan definisi dari hukum selanjutnya (Tahrim, Karahah dan Ibahah).

Contohnya seperti madlul dari beberapa ayat dan hadis berikut:

 أَقِيْمُوْا الصَّلَاةَ

 فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللّه

 لَاتَقْرَبُوْا الزِّنَا

 إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلَايَجْلِسُ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ

Keterangan

Sebagian pengarang menamai hukum di atas dengan sebutan wajib, sunah, haram, makruh dan mubah. Hal ini terjadi karena mereka menamainya dengan muta’allaq (sesuatu yang dikaitkan) karena muta’allaq dari ijab adalah wajib dan muta’allaq dari nadb adalah sunah demikian pula dengan tahrim, karahah dan ibahah.

Wadh’i dan Pembagiannya

Wadh’i adalah hukum Allah yang berkaitan dengan keberadaan sesuatu sebagai sebab, syarat, mani’ (penghalang), sah dan fasid (batal).

Hukum Wadh’i terbagi 5, yaitu:

1.  Sebab

2.  Syarat

3.  Mani’

4.  Sah

5.  fasid

Sebab

Secara bahasa sebab dapat diartikan dengan sesuatu yang menghantarkan pada perkara yang lain. Sedangkan secara istilah, sebab adalah sesuatu yang melazimi ada atau tidaknya hukum dengan keberadaannya.

Sebagian ulama juga mendefinisikannya dengan sebuah sifat yang jelas dan terukur dan juga menjadi penanda bagi hukum, baik sifat itu wujudi ataupun adami.

Maksudnya, sebab merupakan tolak ukur dari keberadaan hukum. Sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya sebab menandakan adanya hukum, begitu juga sebaliknya.

Contohnya seperti memabukkan yang menjadi sebab dari hukum haram. Yakni, sesuatu yang memabukkan melazimi adanya hukum haram. 

Syarat

Secara bahasa syarat dapat diartikan dengan tanda atau menetapkan. Sedangkan secara istilah, syarat adalah sesuatu yang melazimi tidak adanya hukum dengan ketiadaannya dan tidak melazimi adanya hukum dengan keberadaannya.

Maksudnya, syarat merupakan tolak ukur dari tidak adanya hukum dengan ketiadaannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak adanya syarat menandakan tidak adanya hukum. Namun sebaliknya tidak seperti demikian. Berbeda halnya dengan sebab.

Contohnya seperti wudhu yang menjadi syarat bagi shalat. Yakni, sah atau tidaknya shalat ditinjau dari keberadaan syarat, seperti wudhu. Namun keberadan syarat tidak menetapkan ada dan tidaknya shalat.  

Mani’

Mani’ adalah sesuatu yang melazimi tidak adanya hukum dengan keberadaannya dan tidak melazimi adanya hukum dengan ketiadaannya. Dapat dipahami bahwa mani’ adalah lawan daripada syarat.

Maksudnya, mani’ merupakan tolak ukur dari tidak adanya hukum dengan keberadannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya mani’ menandakan tidak adanya hukum. Namun sebaliknya tidak seperti demikian. Berbeda halnya dengan sebab.

Contohnya seperti haid yang menjadi mani’ bagi shalat. Yakni, sah atau tidaknya shalat ditinjau dari keberadaan mani’, seperti haid. Namun ketiadaan mani’ tidak menetapkan ada dan tidaknya shalat.  

Sah

Sah adalah kesesuaian perbuatan terhadap ketentuan syara’, baik yang menyangkut dengan ibadah ataupun muamalat (transaksi).

Contohnya shalat, bila dilakukan sesuai dengan ketentuan syara’ (lengkap syarat dan rukun) maka shalat itu dikatagorikan sah. Begitu juga dengan jual beli, bila dilakukan sesuai dengan ketentuan syara’ (lengkap syarat dan rukun) maka jual beli itu dikatagorikan sah.

Fasid

Fasid merupakan kebalikan daripada sah. Yakni, fasid adalah ketidaksesuaian perbuatan terhadap ketentuan syara’, baik yang menyangkut dengan ibadah ataupun muamalat (transaksi).

Seperti contoh di atas yaitu shalat, bila dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan syara’ (tidak lengkap syarat dan rukun) maka shalat itu dikatagorikan fasid. Begitu juga dengan jual beli, bila dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan syara’ (tidak lengkap syarat dan rukun) maka jual beli itu dikatagorikan fasid.

Perbedaan Taklifi dan Wadh’i

·  Taklifi adalah hukum yang berkaitan dengan hamba yang sudah mukallaf.

Seperti kewajiban shalat zhuhur, bila seorang hamba belum mukallaf maka kewajiban tersebut tidak dibebankan kepadanya.

·  Wadh’i adalah hukum yang menjadi tanda bagi hukum taklifi.

Seperti tergelincirnya matahari yang menjadi tanda atau sebab bagi kewajiban shalat zhuhur.

 

 

Sumber:

Lathaif al-Isyarat

Jam’ul Jawami’

Khulashah fi Ushul al-Fiqh

Posting Komentar