Pembahasan Lengkap Tentang Hukum Syara’ dan Pembagiannya
Pembahasan Lengkap Tentang Hukum Syara’ dan Pembagiannya
Dalam disiplin ilmu ushul fiqh, kita akan menemukan penjelasan tentang
hukum syara’, yang mana mengetahui setiap definisi dari hukum syara’ merupakan
ranah pembahasan dalam ilmu ushul fiqh.
Pada pembahasan kali ini, penulis akan menjelasakan apa itu hukum syara’, pembagian
hukum syara’ dan bagaimana definisi atau pengertian dari setiap hukum syara’.
Mari ikuti penjelasan berikut.
Pengertian Hukum Syara’
Para ulama ushul mendefinisikan hukum dengan “khitab Allah yang berkaitan
dengan perbuatan mukallaf, baik itu berupa tuntutan, pilihan ataupun wadha’.”
Khitab
Khitab adalah firman Allah SWT yang manjadi madlul atau mafhum (yang
dipahaman) dari Al-Quran, Hadis, Ijma’ dan dalil-dalil yang lain.
Mukallaf
Mukallaf adalah orang yang sudah aqil baligh, berakal, sampai seruan da’wah
dan layak untuk menerima khithab.
Pembagian Hukum Syara’
Hukum syara’ ataupun khitab Allah terbagi 2, yaitu
1. Taklifi
2. Wadh’i
Taklifi dan Pembagiannya
Taklifi adalah khithab Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik
berupa tuntutan ataupun tidak.
Hukum taklifi terbagi 5, yaitu:
1. Ijab
2. Nadb
3. Ibahah
4. Karahah
5. Tahrim
Pembagian ini berpijak pada perbuatan dan amalan yang dilakukan manusia
sehari-hari, khusunya selain yang bersifat transaksi.
Yakni, perbuatan yang dikerjakan oleh manusia itu adakalanya berdasarkan tuntutan
dan adakalnya tidak (boleh dilakukan atau ditinggalkan).
Perbuatan yang dikerjakan atas dasar tuntutan, adakalanya dituntut untuk
mengerjakan dan adakalanya dituntut untuk meninggalkan.
Tuntutan ini, baik itu untuk mengerjakan ataupun meninggalkan, adakalanya berdasarkan
tuntutan yang lazim (tidak boleh ditinggalkan) dan adakalanya tidak.
Dari uraian ini, dapat kita simpulkan bahwa hukum yang berkaitan dengan
perbuatan manusia selain transaksi terbagi kepada 5 macam, yaitu:
1. Tuntutan yang
lazim untuk dilakukan (Ijab)
2. Tuntutan yang
tidak lazim untuk dilakukan (Nadb)
3. Tuntutan yang
lazim untuk ditinggalkan (Tahrim)
4. Tuntutan yang
tidak lazim untuk ditinggalkan (Karahah)
5. Tidak ada
tuntutan (Ibahah)
Penjelasan ini juga merupakan definisi dari setiap hukum taklifi.
Seperti ijab yang didefinisikan dengan suatu tuntutan yang lazim untuk
dilakukan, Nadb didefinisikan dengan suatu tuntutan yang tidak lazim untuk
dilakukan, begitu juga dengan definisi dari hukum selanjutnya (Tahrim, Karahah
dan Ibahah).
Contohnya seperti madlul dari beberapa ayat dan hadis berikut:
أَقِيْمُوْا الصَّلَاةَ
فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللّه
لَاتَقْرَبُوْا الزِّنَا
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ
فَلَايَجْلِسُ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ
Keterangan
Sebagian pengarang menamai hukum di atas dengan sebutan wajib, sunah,
haram, makruh dan mubah. Hal ini terjadi karena mereka menamainya dengan
muta’allaq (sesuatu yang dikaitkan) karena muta’allaq dari ijab adalah wajib
dan muta’allaq dari nadb adalah sunah demikian pula dengan tahrim, karahah dan
ibahah.
Wadh’i dan Pembagiannya
Wadh’i adalah hukum Allah yang berkaitan dengan keberadaan sesuatu sebagai sebab,
syarat, mani’ (penghalang), sah dan fasid (batal).
Hukum Wadh’i terbagi 5, yaitu:
1. Sebab
2. Syarat
3. Mani’
4. Sah
5. fasid
Sebab
Secara bahasa sebab dapat diartikan dengan sesuatu yang menghantarkan pada
perkara yang lain. Sedangkan secara istilah, sebab adalah sesuatu yang melazimi
ada atau tidaknya hukum dengan keberadaannya.
Sebagian ulama juga mendefinisikannya dengan sebuah sifat yang jelas dan
terukur dan juga menjadi penanda bagi hukum, baik sifat itu wujudi ataupun
adami.
Maksudnya, sebab merupakan tolak ukur dari keberadaan hukum. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa adanya sebab menandakan adanya hukum, begitu juga sebaliknya.
Contohnya seperti memabukkan yang menjadi sebab dari hukum haram. Yakni,
sesuatu yang memabukkan melazimi adanya hukum haram.
Syarat
Secara bahasa syarat dapat diartikan dengan tanda atau menetapkan.
Sedangkan secara istilah, syarat adalah sesuatu yang melazimi tidak adanya
hukum dengan ketiadaannya dan tidak melazimi adanya hukum dengan keberadaannya.
Maksudnya, syarat merupakan tolak ukur dari tidak adanya hukum dengan
ketiadaannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak adanya syarat menandakan
tidak adanya hukum. Namun sebaliknya tidak seperti demikian. Berbeda halnya
dengan sebab.
Contohnya seperti wudhu yang menjadi syarat bagi shalat. Yakni, sah atau
tidaknya shalat ditinjau dari keberadaan syarat, seperti wudhu. Namun keberadan
syarat tidak menetapkan ada dan tidaknya shalat.
Mani’
Mani’ adalah sesuatu yang melazimi tidak adanya hukum dengan keberadaannya
dan tidak melazimi adanya hukum dengan ketiadaannya. Dapat dipahami bahwa mani’
adalah lawan daripada syarat.
Maksudnya, mani’ merupakan tolak ukur dari tidak adanya hukum dengan
keberadannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya mani’ menandakan tidak
adanya hukum. Namun sebaliknya tidak seperti demikian. Berbeda halnya dengan
sebab.
Contohnya seperti haid yang menjadi mani’ bagi shalat. Yakni, sah atau
tidaknya shalat ditinjau dari keberadaan mani’, seperti haid. Namun ketiadaan
mani’ tidak menetapkan ada dan tidaknya shalat.
Sah
Sah adalah kesesuaian perbuatan terhadap ketentuan syara’, baik yang
menyangkut dengan ibadah ataupun muamalat (transaksi).
Contohnya shalat, bila dilakukan sesuai dengan ketentuan syara’ (lengkap
syarat dan rukun) maka shalat itu dikatagorikan sah. Begitu juga dengan jual
beli, bila dilakukan sesuai dengan ketentuan syara’ (lengkap syarat dan rukun)
maka jual beli itu dikatagorikan sah.
Fasid
Fasid merupakan kebalikan daripada sah. Yakni, fasid adalah ketidaksesuaian
perbuatan terhadap ketentuan syara’, baik yang menyangkut dengan ibadah ataupun
muamalat (transaksi).
Seperti contoh di atas yaitu shalat, bila dilakukan tidak sesuai dengan
ketentuan syara’ (tidak lengkap syarat dan rukun) maka shalat itu dikatagorikan
fasid. Begitu juga dengan jual beli, bila dilakukan tidak sesuai dengan
ketentuan syara’ (tidak lengkap syarat dan rukun) maka jual beli itu
dikatagorikan fasid.
Perbedaan Taklifi dan Wadh’i
· Taklifi adalah hukum yang berkaitan dengan
hamba yang sudah mukallaf.
Seperti kewajiban shalat zhuhur, bila seorang
hamba belum mukallaf maka kewajiban tersebut tidak dibebankan kepadanya.
· Wadh’i adalah hukum yang menjadi tanda bagi
hukum taklifi.
Seperti tergelincirnya matahari yang menjadi
tanda atau sebab bagi kewajiban shalat zhuhur.
Sumber:
Lathaif al-Isyarat
Jam’ul Jawami’
Khulashah fi Ushul al-Fiqh
Posting Komentar