Kaidah Fikih Pertama: al-Umuru Bimaqashidiha
![]() |
Kaidah Fikih Pertama: al-Umuru Bimaqashidiha |
Fitrahnya
manusia adalah ketika melakukan suatu aktivitaas tidak terlepas dari maksud dan
tujuan yang ingin dipenuhi. Bahkan ini menjadi faktor pendorong semangatnya
dalam mengejar tujuan atau target tertentu.
Mengenai
hal ini, syariat pun hadir untuk memberikan nilai dan kualitas dari setiap perkara
yang dilakukan dengan memanfaatkan niat sesuai dengan kriteria yang menguntung setiap
individu berdasarkan tinjauan syariat.
Misalnya
seseorang butuh kepada makanan, maka dia akan makan makanan tersebut agar
merasa kenyang dan punya energi untuk melakukan aktivitas.
Namun,
ketika makan juga dibarengi dengan tujuan untuk memiliki kekuatan dan stamina
untuk melakukan ibadah maka tujuan tersebut sangat berkualitas dan nilainya
jauh tinggi dibandingkan hanya untuk memenuhi nafsu.
Ini
menunjukkan bahwa niat atau tujuan suatu hal sangat penting diperhatikan. Karena
setiap apa yang kita lakukan berdasarkan niat dan tujuan yang sesuai syariat
maka akan menjadi suatu hal yang bernilai dan berkualitas.
Landasan Dasar Kaidah
Adapun
yang menjadi landasar utama dari kaidah yang pertama ini adalah bersumber dari
al-quran dan hadis.
1. Al-Quran
Mengenai
keharusan melakukan niat dalam ibadah, dalam al-quran surat al-Bayyinah ayat: 5,
Allah menerangkan bahwa:
وَمَآ
أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ
Artinya:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus”.
2. Hadis
Adapun
hadis nabi yang menjadi pondasi terbangunnya kaidah di atas adalah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Hadis yang enam. Status hadis ini adalah shahih.
Saidina
Umar Bin Khattab RA berkata: bersabdalah Nabi Muhammad SAW:
انما
الأعمال بالنيات
Artinya:
“bahwasanya amal-amal itu tergantung pada niat”.
Adapun
dalam menjelaskan maksud dari hadis ini ulama berbeda pendapat. Silakan rujuk
pada penjelasan terkait hadis di atas pada pembahasannya.
Hal-Hal Yang Berkaitan Dengan Niat
Secara
garis besar ada 8 hal yang berhubungan dengan niat yaitu:
1. Substansi Niat
Niat
secara bahasa adalah al-qashdu yaitu kesengajaan atau tujuan. Sedangkan pengertian
niat dalam syara’ sebagaimana yang didefinisikan oleh Imam al-Mawardi adalah:
قصد الشيء مقترنا بفعله
Artinya:
kesengajaan melakukan suatu perbuatan yang bersamaan dengan pelaksanaannya.
Ulama
terjadi perbedaan pendapat dalam mendefinisikan makna niat itu sendiri. Sedangkan
definisi masyhur adalah seperti yang penulis kemukakan di atas.
2. Status Niat
Ulama
ahli fikih terjadi silang pendapat dalam menentukan status niat dalam ibadah,
apakah ia dikategorikan rukun atau syarat.
Dasar
perbedaan ini muncul dari perbedaan sudut pandang dan latar belakang masalah yang
dijumpainya. Berikut ini penulis sebutkan beberapa petika pendapat ulama
mengenai status niat.
a. Segolongan Ulama
Ada
sekelompok ulama yang menyatakan niat adalah bagian dari rukun disebabkan niat
tersebut termasuk dalam ibadah itu sendiri karena berpijak bahwa setiap yang
termasuk dalam ibadah adalah rukun.
b. Al-Qadhi Abu Thayyib dan Abu Shabbagh
Niat
merupakan syarat karena apabila tidak dikatakan syarat alias rukun tentu niat
akan membutuhkan kepada niat lagi dan begitu seterusnya sehingga terjadi
tasalsul (mata rantai yang tidak berkesudahan).
c. Al-Rafi’i dan Al-Nawawi
Niat
merupakan rukun dalam shalat, sedangkan dalam puasa merupakan syarat.
d. Al-Ghazali
Dalam
puasa niat adalah rukun sedangkan dalam shalat niat adalah syarat.
Taqiyuddin
al-Husni dalam menanggapi keberagaman status niat tersebut, beliau berusaha
memadukannya dalam sebuah ungkapannya yang masyhur adalah:
“setiap
pekerjaan yang keabsahannya tergantung pada niat maka ia dinamakan rukun dalam
pekerjaan itu”.
3. Tampat Niat
Adapun
tempat niat adalah hati. Oleh karena demikian, tidak dianggap niat hanya dengan
mengucapkan tanpa didasari dari hati dan tidak disyaratkan apa yang diniatkan
dalam hati untul dilafazkan. Karena patokannya niat adalah bersumber dari hati.
4. Waktu Niat
Pelaksanaan
niat secara umum adalah pada awal ibadah. Namun maksud permulaan ibadah di sini
bersifat nisbi atau relatif. Artinya permulaan ibadah yang satu berbeda dengan
ibadah yang lainnya.
Istilah
ulama yang populer mengenai dengan waktu niat adalah adanya awal niat yang haqiqi
dan awal nisbi. Awal haqiqi adalah permulaan suatu pekerjaan yang tidak didahului
apapun. Sedangkan awal nisbi adalah permulaan yang masih diawali oleh perkara
lain.
5. Hal Yang Membatalkan Niat
Adapun
hal-hal yang membatalkan niat adalah sebagai berikut:
a.
Murtad
b.
Berniat memutus atau tidak melanjutkan lagi ibadah yang sedang dijalankan
c.
Berniat mengganti atau memindah dari satu ibadah ke ibadah lainnya seperti mengganti
shalat fardhu yang sedang dikerjakan dengan shalat fardhu yang lain.
d.
Ketidakmampuan orang yng berniat untuk melaksanakan ibadah yang dinati
tersebut. Ketidakmampuan ini ada tiga kategori yaitu ketidakmampuan secara
akal, syariat dan kebiasaan umum.
6. Tata Cara Niat
Tata
cara melakukan niat ini bersifat kondisional. Artinya niat tergantung dengan ibadah
apa yang sedang dilakukan. Misalnya berniat untuk berwudhu maka disitu yang
diniatkan adalah untuk menghilangkan hadas kecil.
Begitu
juga ketika kita ingin melakukan ibadah-ibadah lain seperti shalat, puasa,
zakat dan haji memiliki niatnya masing-masing.
7. Syarat-Syarat Niat
Ada
beberapa syarat-syarat yang perlu diperhatiakan dalam berniat. Tanpa syarat-syarat
tersebut maka seseorang tidak bisa dianggap berniat baik dari tinjauan akal
maupun syariat.
Syarat-syarat
niat ada empat yaitu:
a.
Islam
b.
Tamyiz (mampu membedakan yang baik dan buruk)
c.
Mengetahui terhadap apa yang diniati
d.
Tidak terdapat hal-hal yang bertentangan antara niat dan manwi (yang
diniatkan).
8. Tujuan Niat
Adapun
fungsi atau tujuan disyariatkan niat adalah di antaranya:
a.
Untuk membedakan ibadat dan kebiasaan sehari-hari. Seperti mandi biasa dengan
mandi wajib karena janabah.
b.
Untuk membedakan derajat suatu ibadah dengan ibadah lainnya. Seperti ada ibadah
yang berstatus fardhu, sunnah dan lain-lain.
c.
Sebagai penunjuk maksud dari sebuah ungkapan yang memiliki kemungkinan makna
aslinya dan makna yang tidak langsung atau dikenal dengan istilah kinayah.
Demikianlah pembahasan ringkas seputar kaidah pertama dari lima kaidah kubra.
Posting Komentar