Jadilah orang pertama yang menerima update artikel terbaru dari kami!!!

Kaidah Fikih Pertama: al-Umuru Bimaqashidiha

Daftar Isi

Kaidah Fikih Pertama: al-Umuru Bimaqashidiha

Fitrahnya manusia adalah ketika melakukan suatu aktivitaas tidak terlepas dari maksud dan tujuan yang ingin dipenuhi. Bahkan ini menjadi faktor pendorong semangatnya dalam mengejar tujuan atau target tertentu.

Mengenai hal ini, syariat pun hadir untuk memberikan nilai dan kualitas dari setiap perkara yang dilakukan dengan memanfaatkan niat sesuai dengan kriteria yang menguntung setiap individu berdasarkan tinjauan syariat.

Misalnya seseorang butuh kepada makanan, maka dia akan makan makanan tersebut agar merasa kenyang dan punya energi untuk melakukan aktivitas.

Namun, ketika makan juga dibarengi dengan tujuan untuk memiliki kekuatan dan stamina untuk melakukan ibadah maka tujuan tersebut sangat berkualitas dan nilainya jauh tinggi dibandingkan hanya untuk memenuhi nafsu.

Ini menunjukkan bahwa niat atau tujuan suatu hal sangat penting diperhatikan. Karena setiap apa yang kita lakukan berdasarkan niat dan tujuan yang sesuai syariat maka akan menjadi suatu hal yang bernilai dan berkualitas.

Landasan Dasar Kaidah

Adapun yang menjadi landasar utama dari kaidah yang pertama ini adalah bersumber dari al-quran dan hadis.

1. Al-Quran

Mengenai keharusan melakukan niat dalam ibadah, dalam al-quran surat al-Bayyinah ayat: 5, Allah menerangkan bahwa:

وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ

Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus”.

2.   Hadis

Adapun hadis nabi yang menjadi pondasi terbangunnya kaidah di atas adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Hadis yang enam. Status hadis ini adalah shahih.

Saidina Umar Bin Khattab RA berkata: bersabdalah Nabi Muhammad SAW:

انما الأعمال بالنيات

Artinya: “bahwasanya amal-amal itu tergantung pada niat”.

Adapun dalam menjelaskan maksud dari hadis ini ulama berbeda pendapat. Silakan rujuk pada penjelasan terkait hadis di atas pada pembahasannya.

Hal-Hal Yang Berkaitan Dengan Niat

Secara garis besar ada 8 hal yang berhubungan dengan niat yaitu:

1.  Substansi Niat

Niat secara bahasa adalah al-qashdu yaitu kesengajaan atau tujuan. Sedangkan pengertian niat dalam syara’ sebagaimana yang didefinisikan oleh Imam al-Mawardi adalah:

 قصد الشيء مقترنا بفعله  

Artinya: kesengajaan melakukan suatu perbuatan yang bersamaan dengan pelaksanaannya.

Ulama terjadi perbedaan pendapat dalam mendefinisikan makna niat itu sendiri. Sedangkan definisi masyhur adalah seperti yang penulis kemukakan di atas.

2.  Status Niat

Ulama ahli fikih terjadi silang pendapat dalam menentukan status niat dalam ibadah, apakah ia dikategorikan rukun atau syarat.

Dasar perbedaan ini muncul dari perbedaan sudut pandang dan latar belakang masalah yang dijumpainya. Berikut ini penulis sebutkan beberapa petika pendapat ulama mengenai status niat.

a.  Segolongan Ulama

Ada sekelompok ulama yang menyatakan niat adalah bagian dari rukun disebabkan niat tersebut termasuk dalam ibadah itu sendiri karena berpijak bahwa setiap yang termasuk dalam ibadah adalah rukun.

b.  Al-Qadhi Abu Thayyib dan Abu Shabbagh

Niat merupakan syarat karena apabila tidak dikatakan syarat alias rukun tentu niat akan membutuhkan kepada niat lagi dan begitu seterusnya sehingga terjadi tasalsul (mata rantai yang tidak berkesudahan).

c.   Al-Rafi’i dan Al-Nawawi

Niat merupakan rukun dalam shalat, sedangkan dalam puasa merupakan syarat.

d.  Al-Ghazali

Dalam puasa niat adalah rukun sedangkan dalam shalat niat adalah syarat.

Taqiyuddin al-Husni dalam menanggapi keberagaman status niat tersebut, beliau berusaha memadukannya dalam sebuah ungkapannya yang masyhur adalah:

“setiap pekerjaan yang keabsahannya tergantung pada niat maka ia dinamakan rukun dalam pekerjaan itu”.

3.  Tampat Niat

Adapun tempat niat adalah hati. Oleh karena demikian, tidak dianggap niat hanya dengan mengucapkan tanpa didasari dari hati dan tidak disyaratkan apa yang diniatkan dalam hati untul dilafazkan. Karena patokannya niat adalah bersumber dari hati.

4.  Waktu Niat

Pelaksanaan niat secara umum adalah pada awal ibadah. Namun maksud permulaan ibadah di sini bersifat nisbi atau relatif. Artinya permulaan ibadah yang satu berbeda dengan ibadah yang lainnya.

Istilah ulama yang populer mengenai dengan waktu niat adalah adanya awal niat yang haqiqi dan awal nisbi. Awal haqiqi adalah permulaan suatu pekerjaan yang tidak didahului apapun. Sedangkan awal nisbi adalah permulaan yang masih diawali oleh perkara lain.

5.  Hal Yang Membatalkan Niat

Adapun hal-hal yang membatalkan niat adalah sebagai berikut:

a. Murtad

b. Berniat memutus atau tidak melanjutkan lagi ibadah yang sedang dijalankan

c. Berniat mengganti atau memindah dari satu ibadah ke ibadah lainnya seperti mengganti shalat fardhu yang sedang dikerjakan dengan shalat fardhu yang lain.

d. Ketidakmampuan orang yng berniat untuk melaksanakan ibadah yang dinati tersebut. Ketidakmampuan ini ada tiga kategori yaitu ketidakmampuan secara akal, syariat dan kebiasaan umum.

6.  Tata Cara Niat

Tata cara melakukan niat ini bersifat kondisional. Artinya niat tergantung dengan ibadah apa yang sedang dilakukan. Misalnya berniat untuk berwudhu maka disitu yang diniatkan adalah untuk menghilangkan hadas kecil.

Begitu juga ketika kita ingin melakukan ibadah-ibadah lain seperti shalat, puasa, zakat dan haji memiliki niatnya masing-masing.

7.  Syarat-Syarat Niat

Ada beberapa syarat-syarat yang perlu diperhatiakan dalam berniat. Tanpa syarat-syarat tersebut maka seseorang tidak bisa dianggap berniat baik dari tinjauan akal maupun syariat.

Syarat-syarat niat ada empat yaitu:

a. Islam

b. Tamyiz (mampu membedakan yang baik dan buruk)

c. Mengetahui terhadap apa yang diniati

d. Tidak terdapat hal-hal yang bertentangan antara niat dan manwi (yang diniatkan).

8.  Tujuan Niat

Adapun fungsi atau tujuan disyariatkan niat adalah di antaranya:

a. Untuk membedakan ibadat dan kebiasaan sehari-hari. Seperti mandi biasa dengan mandi wajib karena janabah.

b. Untuk membedakan derajat suatu ibadah dengan ibadah lainnya. Seperti ada ibadah yang berstatus fardhu, sunnah dan lain-lain.

c. Sebagai penunjuk maksud dari sebuah ungkapan yang memiliki kemungkinan makna aslinya dan makna yang tidak langsung atau dikenal dengan istilah kinayah.

 

Demikianlah pembahasan ringkas seputar kaidah pertama dari lima kaidah kubra.

Posting Komentar